Lihat ke Halaman Asli

Budaya Merasa Lebih, No Way

Diperbarui: 24 Juni 2015   00:58

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Oleh:

M.R. Aulia

Ditulis Kamis, 13 Maret 2014 dan diselesaikan pukul 08:41 WIB.

Sepekan terakhir saya mengikuti training dari perusahaan cukup ternama di negeri ini. Sebuah pelatihan yang sangat humble. Humble yang dinilai dari orang-orang yang memberikan sejumlah nilai (values) dan penggalaman tentang sesuatu yang digeluti dan didalaminya sejak lama.

Ungkapan humble tersebut bukan berarti saya mendewakan mereka, melainkan sikap dan semangat yang terus digelorakan oleh mereka secara berulang-ulang. Meskipun posisi mereka bisa dibilang bukan kapasitas orang sembarangan. Mereka sekelas General Manager, Wartawan Kepresidenan dan lain sebagainya.

Mereka menekankan kepada kami agar tidak memiliki rasa sok bisa, sok hebat, dan rasa sok yang lainnya. Hal tersebut tidak sekedar ungkapan dan wejangan mereka saja terhadap kami yang baru. Kendati baru hitungan minggu saja, saya melihat mereka memang menerapkan hal demikian. Budaya kerja telah mereka bangun.

Bentuk-bentuk senioritas, menekan mereka yang baru, hampir tidak terlihat jelas. Seragam yang sama dan perilaku dengan sesama terlihat santai. Mereka tidak memosisikan diri sebagai sang senior atau orang yang sok tahu. Jam terbang yang lebih lama yang mereka miliki, tidak menjadikan mereka sombong dan rasa lebih atau sok lainnya.

Mereka tetap membaur, baik dengan sesame senior ataupun junior. Hampir terlihat tidak ada sekat, mana senior, mana junior. Jam terbang yang mereka miliki lebih banyak digunakan untuksharing. Baik formal maupun informal. Suasana yang santai dan nyaman.

Disanalah kesan awal saya sebagai orang baru. Terkesan dan sangat menyenangkan. Inilah sikap yang saya impikan selama ini. Bisa bergabung dan berbaur bersama mereka yang open minded, terbuka dan tidak merasa lebih dari orang lain dan secara bersamaan merendahkan orang lain.

“Jangan pernah merasa lebih. Lebih ini, lebih itu dan secara bersamaan merendahkan orang lain dan tidak mau mendengar masukan orang lain.”

Ungkapan tersebut selalu terngiang sampai detik ini dalam benak saya. Hal demikian menjadi kunci sukses dalam berkarir dalam sebuah perusahaan, sehingga perusahaan tersebut bisa lebih bersaing dan menuangkan rasa bahagia ke dalam banyak benak orang. Sebanyak-banyaknya.

Tidak hanya dalam perusahaan. Dalam sebuah organisasi atau sekumpulan dua orang atau lebih yang saling bekerjasama pun demikian. Rasa sok merasa bisa atau lebih dari orang lain terkadang berperan besar menjadi parasit yang lambat laun akan menjadikan perusahaan atau orang tersebut punah, hilang dan lenyap tanpa jejak.

Salah satu karyawan senior berkata bahwa tidak menutup kemungkinan kami yang baru bergabung, bisa bersinergi dengan mereka di suatu saat nanti.

“Saya dan kalian cuma beda jam terbang saja. Saya sudah lama, kalian masih baru. Tapi saya yakin setiap kita punya peran. Saling melengkapi satu sama lain. Tidak menutup kemungkinan kalian akan bisa lebih sukses dari saya dan senior lainnya.”

Hampir semua pengisi training tersebut dan karyawan senior yang berlalu-lalang mengatakan hal dan menerjemahkan maksud dari ungkapan tersebut. Setiap orang punya potensi. Jangan pernah spelekan orang yang berada di bawah kita atau junior-junior kita atau siapapun.

Karena tidak ada yang tahu, bawahan atau junior kita akan menjadi penentu atau orang besar di masa depan. Baik dalam skala perusahaan ataupun skala makro, seperti halnya negara atau bangsa secara keseluruhan.

“Likullinnas Maziyyatan.”

Setiap orang memiliki kelebihan masing-masing. Kelebihan berbeda yang dititipkan tuhan pada manusia adalah modal untuk saling menguatkan. Memberi kekuatan di pos-pos mana yang membutuhkan. Bukan menghantui atau membuat horror mereka yang lemah. Bukanlah saling merendahkan sesama, melainkan saling melengkapi satu sama lain.

Siapapun kita saat ini, sehebat apapun kita, pasti akan ada yang lebih dari kita. Roda akan terus berputar mengikuti irama dan ritme, sesuai dengan seberapa besar kesungguhan untuk terus belajar, dan seberapa besar kita menghargai orang lain. Entah itu atasan kita, bawahan kita, orang lain yang kita temui di luar sana, apapun profesi dan status atau kedudukan mereka secara sosial.

“Di atas langit tetap ada langit.”

Sehingga bila budaya merasa lebih dan sok ini dapat jauh dari diri kita, maka rasa respek dan saling menghormati akan tetap berjalan. Meskipun jabatan secara formal sudah tidak kita pegang lagi. Akan tetapi berkat saling melengkapi satu sama lain dan tidak mendiskreditkan pihak lain atau seseorang, maka kemajuan akan dapat dirasakan dengan cepat dan segera (Engines Working Together).

Beginilah cara memimpikan nyata bagaimana kita bisa nyaman dimanapun, kapanpun dan bisa dicintai oleh banyak orang.

Just IMHO (Its My Humble Opinion).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline