Oleh:
M. R. Aulia
Ditulis Sabtu pagi, 15 Maret 2014 dan diselesaikan pukul 09:15 WIB.
[caption id="attachment_326699" align="aligncenter" width="324" caption="Ilustrasi Jokowi, Sumber: donary.deviantart.com"][/caption]
Saya termasuk salah satu orang yang berada dalam suatu ruangan dimana nama Jokowi resmi dicapreskan oleh PDIP. Saat itu dalam ruangan rapat kantor DPP PDIP, terdapat sekitar belasan fungsionaris PDIP dan lainnya adalah awak media yang siap menyebarkan hasil dari konferensi pers pada hari Jumat Pahing tersebut.
Dua lembar kertas HVS yang memiliki kop logo PDIP dibacakan oleh Puan Maharani dan diperlihatkan kepada awak media. Dua lembar kertas tulisan tangan tersebut berhasil menjadi fenomena penentu kepastian setelah hampir setahun lamanya terkatung-katung demi nasib seseorang.
Seseorang yang awalnya berjanji akan terus menjalankan roda pemerintahan level DKI selama lima tahun kedepan. Seseorang yang selalu mengelak saat ditanya isu pencalonannya di level yang lebih tinggi. Namun pada akhirnya janji dan sifat mengelak tersebut berakhir dengan kesiapan menerima pencalonan dirinya yang ditentukan oleh Ibu Bangsa, Megawati Soekarnoputri.
Berawal dari tulisan tangan di HVS tersebut, kepastian seorang Jokowi maju sebagai calon orang nomor satu di Indonesia. Sebuah deklarasi dan kepastian yang dihelat secara sederhana. Di sebuah ruangan yang juga sederhana dan diumumkan juga melalui akun resmi twitter partai tersebut. Megawati yang digadang-gadangkan akan kembali mencalonkan sebagai presiden pun membuktikan dirinya tidak lagi berambisi. Ia menyerahkan kewenangan penuh hasil Rakernas III terkait siapa yang akan diusung pada pilpres 2014.
Tulisan tangan yang rapih dan berjudul perintah harian memastikan kepada khalayak luas, Jokowi yang saat ini masih menjabat sebagai gubernur DKI akan dipasangkan dalam pertarungan siapa presiden RI ke tujuh mendatang.
Di sebuah kantor yang sangat sederhana, berpagar hitam dan sedikit merah, banyak kebijakan penting di negara ini dihasilkan. Artinya banyak pejabat negara hasil didikan fungsionaris yang berkantor di tempat sederhana tersebut. Saat saya sedang asyik duduk di luar pagar melihat kantor partai tersebut dan membayangkan betapa banyak informasi penting berterbangan.
Salah satunya informasi kepastian capres Jokowi. Saya berimajinasi betapa banyak angle atau sudut pandang pemberitaan meluncur dari langit-langit kantor tersebut dan mendarat hampir di seluruh titik pihak-pihak yang berkepentingan atau tidak berkepentingan. Tidak hanya di negeri ini saja, informasi itu secara sekejap pun berhamburan ke mancanegara. Terbukti jurnalis asing yang pada petang itu, live report tentang pencapresan Jokowi di depan sebuah moncong kamera.
Setelah meluncurnya informasi yang ditunggu-tunggu masyarakat, apakah Jokowi jadi dicalonkan atau tidak? meluncur lalu mendarat, tak pelak menimbulkan reaksi dari berbagai pihak. Kendati Jokowi baru saja start membangun Jakarta baru, tetapi arah angin berubah, sehingga disamping banyak yang bereaksi sorak sorai, adapula yang terperangah, tak habis pikir.
Tentu mereka terbagi tiga. Pertama mereka yang pro terhadap pencalonan Jokowi. Penilaian sikap dan gaya berpolitik yang baru membuat banyak masyarakat terpikat dan terpesona. Terkadang bukan kinerja dan program Jokowi yang sangat menawan, melainkan gaya Jokowi yang mendobrak gaya-gaya sekat atau elitis banyak tokoh-tokoh di negara ini.
Gaya yang terkesan membuat jarak antara pemimpin dan yang dipimpin, Jokowi berusaha tidak melakukan hal demikian. Saya melihat masyarakat mendambakan Jokowi sebagai pemimpin tidak semata-mata diukur dengan kinerjanya, tetapi caranya bergaul dan berbincang dengan masyarakat. Terlihat hampir sebagian besar bahasa tubuh Jokowi sebagai manusia biasa terlihat natural, tidak hasil settingan.
Lihat saja cara senyumnya, cara berpakaian yang terlihat jauh dari kesan pemimpin necis. Cara dia ketawa yang terkadang lepas begitu saja. Cara dia menjawab pertanyaan tidak terlalu normatif, ceplas-ceplos tapi maknanya dalam. Tidak ada intonasi atau suara-suara yang dibuat-buat. Mungkin hal demikian membuat Jokowi menjadi pemimpin idaman. Masyarakat yang memilihnya terkadang sadar dan memahami betul tidak mungkin Jokowi bisa menyelesaikan kesemerawutan DKI atau Negara ini secara instan. Apalagi masa kepemimpinan seseorang tidak boleh lebih dari sepuluh tahun.
Artinya, masyarakat sadar betul dan tahu banyak, siapapun pemimpinnya tidak akan pernah bisa menyelesaikan permasalahan seperti membalikan telapak tangan. Tetapi karena branding Jokowi yang tidak elitis dan tidak membuat sekat kepada masyarakatnya, terkadang membuat masyarakat terhibur meski beban hidup dan peliknya menikmati kelayakan hidup terus mereka rasakan.
Jauh berbeda dengan pejabat atau pemimpin lain. Yang terlihat berjarak dengan yang dipimpinnya. Lihat saja senyum mereka aja hasil settingan. Gaya berjalan hasil setingan. Ketawa hasil setingan. Bahkan dalam segi pengamanan, terlihat banyak pejabat dijaga secara lebay. Satu orang saja di jaga sampai ratusan polisi dan sebagainya. Seorang rektor universitas saja sampai dijaga 15 orang bodyguard dimanapun dan kapanpun ia berada.
Selanjutnya, mereka yang kontra adalah mereka yang belum menemukan sifat dan karakteristik leadership klasik atau konvensional yang melekat pada diri Jokowi. Masih banyaknya masyarakat kita yang membayangkan pemimpin hebat itu adalah mereka yang jago dan berapi-api dalam menyampaikan suatu gagasan, terutama gagasan dan formulasi kebangsaan.
Sehingga bila gagasannya bagus dan disampaikan secara berapi-api, maka dipastikan dapat bergaul dengan pejabat lintas dunia. Mampu memengaruhi danmengangkat derajat bangsa dengan orasi yang bertenaga dan berurat tersebut. Tapi kemanakah muara gagasan yang berapi tersebut? Tidak lain muaranya adalah upaya mengeksekusi nyata gagasan yang cantik dan menawan tersebut dalam masa-masa kepemimpinan. Tidak banyak yang bisa bermuara ke dalam hal tersebut.
Kaum terakhir adalah mereka yang tergabung dalam swing voter atau golput. Mereka memang memiliki space keyakinan terhadap seseorang yang belum kokoh dan gampang goyah. Kekokohan keyakinan terhadap pilihan politiknya tegantung seberapa besar pengetahuan mereka terhadap rekam jejak dan kurangnya pemahaman akan keniscayaan dalam dinamika politik. Atau memang tidak mau tahu terhadap dinamika politik, padahal politik tersebut sangat menentukan eksistensi setiap segi manapun dalam kehidupan ini.
Dan tidakkah mereka sadar bahwa tidak akan pernah ada di dunia ini sosok personal yang sempurna. Menunggu kesempurnaan seseorang dan kesempurnaan parpol, baru mau menggunakan hak politiknya dalam memilih. Rasanya tidak mungkin, sampai dunia ini dilipat-lipat oleh empunya, kesempurnaan tersebut adalah hal yang mustahil.
Oleh karena itu, tulisan tangan yang tersebar dari sebuah kantor partai yang berlokasi di kawasan Lenteng Agung tersebut memang banyak menimbulkan reaksi yang beragam. Tinggal bagaimana voters dan warga negara yang bijak menilai cara-cara yang elegan dalam menghadapi aksi tersebut.
Sehingga Indonesia benar-benar bisa terangkat, setidaknya suasana dalam negeri yang kondusif, dan semua elemen warga negaranya dapat bergerak menyukseskan program-program pemimpin. Siapapun itu. Tidak hanya Jokowi. Dan pada akhirnya, mendewakan seseorang dalam kehidupan ini adalah keliru besar. Harus pandai melihat kapan harus mengikuti dan kapan harus mengingatkan.
Mari coba rubah paradigma soal kepemimpinan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H