Akhir-akhir ini terjadi kehebohan di kalangan umat beragama, terutama di Indonesia, karena munculnya berita tentang pernyataan seorang fisikawan terkemuka, Stephen Hawking, bahwa surga itu cuma dongeng. Berita ini salah satunya dimuat di Kompas tanggal 17 Mei 2011 (Lihat).
Secara umum agama-agama di dunia mengakui eksistensi kehidupan setelah kematian, walaupun berbeda pandangan tentang apa, bagaimana, dan di mana proses kehidupan setelah kematian itu berlangsung. Demikian juga, dalam ajaran Buddha, keyakinan akan kehidupan setelah kematian dan keberadaan alam-alam lain selain dunia fana ini, menjadi salah satu pondasi dasar keyakinan dan pandangan umat Buddha. Dalam Dhammasangani, salah satu kitab Buddhis, disebutkan terdapat sepuluh pandangan salah atau keliru, salah satunya adalah "tidak ada dunia lain", yaitu tidak meyakini adanya kehidupan berikutnya setelah kehidupan ini.
Namun secara sains dan penyelidikan ilmiah, keberadaan alam setelah kematian atau kehidupan berikutnya setelah kehidupan ini tidak dapat dapat dibuktikan secara masuk akal. Oleh sebab itu, para ilmuwan menyatakan bahwa setelah kematian tidak ada apa-apa lagi. Dalam ajaran Buddha, pandangan ini disebut juga annihilisme (ucchedavada) yang cenderung mengarah pada materialisme. Pandangan ini telah muncul sejak ribuan tahun yang lalu, ketika ajaran Buddha baru berkembang di India, seperti kisah berikut ini.
Payasi Sutta[1]: Tanya Jawab Tentang Kehidupan Lain
Suatu ketika Bhikkhu Kumara Kassapa, siswa langsung Sang Buddha yang dikenal pandai berkotbah, berkunjung ke daerah Setavya di kerajaan Kosala di mana Pangeran Payasi bertempat tinggal. Pangeran Payasi dikenal sebagai seorang skeptik yang menganut pandangan salah "tidak ada alam lain, tidak ada makhluk yang terlahir spontan, tidak ada buah dari perbuatan baik atau buruk" (yaitu tidak meyakini adanya alam lain, makhluk-makhluk yang tidak terlihat secara kasat mata, dan akibat perbuatan baik dan buruk). Mendengar kedatangan seorang pengikut ajaran yang berbeda dengan ajaran yang dianutnya, Pangeran Payasi menemui sang bhikkhu untuk menanyakan tentang hal ini.
Pangeran Payasi mengemukakan alasannya tidak meyakini keberadaan alam lain sebagai berikut:
"Yang Mulia Kassapa, aku memiliki teman-teman dan sanak saudara yang membunuh, mengambil apa yang tidak diberikan, melakukan pelanggaran seksual, berbohong, menghina, berkata-kata kasar dan bergosip, serakah, penuh kebencian dan menganut pandangan salah. Akhirnya mereka jatuh sakit dan ketika aku yakin bahwa mereka tidak akan sembuh, aku mendatangi mereka dan berkata:
'Ada para pertapa dan brahmana (baca: para guru agama) yang menyatakan bahwa mereka yang melakukan perbuatan tercela, menganut pandangan salah, setelah kematian saat hancurnya jasmani, akan terlahir di alam sengsara, di neraka. Sekarang engkau telah melakukan hal-hal ini dan jika apa yang dikatakan para pertapa dan brahmana itu benar, maka ke sanalah kalian akan pergi. Sekarang jika, setelah kematian, kalian pergi ke alam sengsara, datanglah kepadaku dan katakan bahwa ada alam lain.'
Tetapi meskipun mereka setuju, mereka tidak pernah datang memberitahukan kepadaku, juga tidak mengirim utusan. Itulah, Yang Mulia Kassapa, alasanku mempertahankan: 'Tidak ada alam lain, tidak ada makhluk-makhluk yang terlahir spontan, tidak ada buah dan akibat dari perbuatan baik dan buruk'."
Bhikkhu Kumara Kassapa menjawab, "Bagaimanakah menurutmu, Pangeran? Seandainya orang-orang membawa seorang maling yang tertangkap basah dan berkata: 'Orang ini, Tuanku, adalah seorang maling yang tertangkap basah. Hukumlah ia seperti yang engkau inginkan.'
Dan engkau akan berkata: 'Ikat kedua tangannya di belakang dengan tali yang kuat, cukur rambutnya, dan giring ia dengan tabuhan genderang melalui jalan-jalan dan lapangan, keluar melalui gerbang selatan, dan di sana penggal kepalanya.' Mereka menjawab: 'Baik, Tuanku' dan melakukan seperti yang diperintahkan serta akan memenggal kepalanya.