Proyek Penguatan Profil Pelajar Pancasila (P5RA) di MTsN 1 Bandar Lampung membawa para siswa pada berbagai topik yang menantang dan relevan dengan isu-isu demokrasi, pelanggaran HAM, dan pemerintahan di Indonesia. Melalui tugas ini, para siswa mengembangkan pemahaman mereka terhadap kasus-kasus nyata yang telah menandai perjalanan demokrasi di Indonesia.
Arfa memilih topik tentang pelanggaran demokrasi dalam konteks politik uang, intimidasi, dan penggelembungan suara. Praktik ini menunjukkan betapa rentannya pemilu terhadap kecurangan, di mana aktor politik kerap memanfaatkan kelemahan sistem untuk meraih kemenangan tidak adil. Fenomena ini mencederai prinsip-prinsip demokrasi yang seharusnya menjamin pemilu yang bebas, adil, dan jujur.
Vivian mengangkat kasus pelanggaran aturan dalam Pilpres 2024, di mana calon wakil presiden dianggap tidak memenuhi syarat usia. Pelanggaran ini menunjukkan bagaimana proses politik dapat diwarnai oleh permasalahan administratif, yang pada akhirnya bisa mengancam legitimasi hasil pemilu.
Noerin memilih untuk menyoroti 17 kasus pelanggaran HAM berat di Indonesia, termasuk Peristiwa 1965-1966, Trisakti 1998, dan Wamena 2003. Berbagai peristiwa ini menunjukkan bahwa meski HAM telah diakui secara universal, pelanggaran berat terus terjadi di Indonesia tanpa penyelesaian tuntas. Kasus-kasus ini memicu diskusi tentang pentingnya penegakan hukum dan keadilan bagi korban.
Raffi menyoroti praktik pelanggaran demokrasi di lingkungan sekolah, termasuk tindakan suap, pemaksaan atribut agama, dan pungutan liar. Sekolah, yang seharusnya menjadi tempat pendidikan demokrasi dan nilai-nilai keadilan, sering kali justru menjadi ruang di mana pelanggaran hak-hak siswa terjadi.
Taufiqurahman membahas tentang diskriminasi, kekerasan fisik, dan psikologis di sekolah, yang tidak hanya melanggar demokrasi, tetapi juga HAM. Tindakan seperti perundungan, perpeloncoan, hingga keputusan sepihak oleh pihak sekolah melanggar hak-hak siswa dan menciptakan ketidakadilan yang merusak suasana pendidikan.
Almayda membahas peristiwa Wamena 2003 yang dikategorikan sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan. Ini mengingatkan kita bahwa pelanggaran HAM sering kali melibatkan negara, dan para korban sering kali tidak mendapatkan keadilan yang layak sesuai hukum yang berlaku.
Fauzan mengangkat kasus pelanggaran terhadap kebebasan pers, termasuk vonis terhadap Muhammad Asrul yang dihukum karena mengungkap dugaan korupsi, dan Diananta Putra yang dipenjara karena laporan terkait SARA. Kasus-kasus ini menunjukkan bahwa jurnalis kerap menjadi target ketika mereka mencoba mengungkap kebenaran, mengancam kebebasan pers yang seharusnya dijamin dalam demokrasi.
Fawwaz menyoroti kasus kekerasan terhadap jurnalis, seperti pembunuhan Udin dari harian Bernas Yogyakarta pada 1996 dan insiden wartawan tersiram air panas di DPR RI tahun 2012. Kedua kasus ini mencerminkan bahaya yang dihadapi oleh jurnalis saat melaporkan kebenaran di tengah situasi politik yang tidak stabil.
Intan mengangkat kritik terhadap kurangnya perhatian pada isu HAM dalam Pilpres 2024, meskipun demonstrasi Aksi Kamisan telah berlangsung selama 17 tahun. Pemerintah dan calon presiden tampaknya belum menjadikan penegakan HAM sebagai prioritas, menimbulkan kekecewaan di kalangan masyarakat yang menuntut keadilan.
Dari berbagai topik yang diangkat, terlihat bahwa demokrasi dan penegakan HAM di Indonesia masih menghadapi berbagai tantangan. Demokrasi yang sehat seharusnya menjamin kebebasan berpendapat, hak memilih yang adil, serta perlindungan terhadap hak asasi setiap individu. Namun, kasus-kasus ini menunjukkan bahwa perjuangan untuk mencapai demokrasi yang ideal dan menghormati HAM masih panjang dan memerlukan perhatian serius. Para siswa MTsN 1 Bandar Lampung telah berperan aktif dalam menelaah isu-isu ini dan diharapkan mampu menjadi generasi penerus yang kritis dan peduli terhadap nilai-nilai demokrasi dan HAM.