Lihat ke Halaman Asli

Kembali ke Rumah

Diperbarui: 12 Juli 2024   21:46

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Fiksiana. Sumber ilustrasi: PEXELS/Dzenina Lukac

Di sebuah kedai kopi kecil di pinggir kota, seorang lelaki duduk sendiri, tenggelam dalam sudut jiwanya yang sunyi. Secangkir kopi panas di meja menjadi satu-satunya teman setia di malam yang sepi itu. Asap tipis dari cangkir mengepul perlahan, menari di udara sebelum menghilang. Matanya memandang tak bertepi, menerawang jauh ke dalam malam yang penuh misteri.

Husen, lelaki itu, larut dalam diam tak berpenghuni. Di setiap tegukan kopi, ia merasakan kerinduan yang perlahan menguliti hatinya, satu demi satu lapisan nurani yang tak bisa ia bohongi. Rasa pahit kopi seakan mencerminkan kepahitan hidup yang sedang ia rasakan.

Selintas terdengar sayup-sayup mengiringi, dendang nostalgia terbawa angin di kejauhan sepi. Lagu lama dari radio tua di rumah-rumah pinggir kali membuat wajah sayunya semakin penuh misteri. Husen memejamkan mata, mendengarkan lirik lagu yang mengingatkannya pada masa lalu yang indah namun kini terasa jauh.

Seakan beban dunia di panggulnya, membawa sesak dalam dada dan sanubari. Ia merasakan tekanan yang luar biasa, membuatnya hilang arah tak tahu kemana meniti. Dalam benaknya, Husen berpikir tentang yang di rumah, anak dan isterinya, Yani, yang setia menanti.

Di rumah, Yani menatap jam dinding yang terus berdetak, menghitung waktu yang terasa semakin lambat. Aroma masakan yang hangat memenuhi ruangan, namun hatinya terasa dingin tanpa kehadiran Husen. "Cegah diabetes selamanya!" iklan di televisi terdengar di latar belakang, namun Yani tak benar-benar mendengarnya. Ia hanya berharap Husen segera pulang, membawa senyum dan kebahagiaan.

Husen merenung dalam keheningan. Usaha yang ia lakukan selalu gagal lagi, belum bisa membahagiakan yang dikasihi. Rejeki yang dicari seakan menjauh tersembunyi, membuatnya merasa putus asa. Akankah masih ada jalan untuknya kembali, ataukah ia akan terus terbentur dinding di kota ini, tersesat langkah di malam hari?

Anak isterinya setia kah menanti, pikir Husen, karena jiwa ingin pulang tapi malu sekali. Rasa malu karena belum bisa memberikan yang terbaik bagi keluarganya terus menghantuinya. Usaha dan kerja kerasnya seolah belum membuahkan hasil yang diharapkan.

Yani menyiapkan makan malam dengan hati-hati, berharap makanan kesukaan Husen bisa menghangatkan hatinya. Harum sup yang mendidih menguar, membawa kehangatan ke seluruh ruangan. Setiap kali suara langkah terdengar dari luar, Yani berharap itu adalah suaminya yang pulang.

Husen menatap ke cangkir kopi yang kini tinggal setengah. Aroma kopi yang kuat memancing ingatannya pada rumah, pada Yani yang setia menanti. Ia tahu bahwa meskipun sulit, ia harus pulang. Dengan berat hati, ia bangkit dari kursinya, meninggalkan uang di meja, dan melangkah keluar dari kedai kopi.

Langit malam kota masih gelap, tetapi di hati Husen, ada sedikit cahaya harapan. Ia melangkah pelan, namun pasti, kembali ke rumah. Husen tahu, meskipun rejeki terasa jauh, keluarganya adalah alasan untuk terus berjuang dan pulang. Dan di sana, di rumah yang hangat, Yani menanti dengan penuh cinta dan harapan.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline