Lihat ke Halaman Asli

Sesatnya Hasrat!

Diperbarui: 12 Juli 2024   18:58

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Malam itu, Yully duduk di sudut ruang tamu, matanya memandang kosong ke arah layar televisi yang mati. Sesekali ia melirik ke arah anak-anaknya yang sedang terbenam dalam dunia masing-masing, terpaku pada gadget mereka. Rasa resah menggelayuti hatinya, membuatnya tak bisa tenang. Ia menghela napas panjang, teringat betapa sulitnya ia mencoba mengajak anak-anaknya melepaskan gadget, namun selalu berakhir dengan kegagalan.

Terkantuk-kantuk matanya lelah, terpapar bias-bias sinar dari layar gadget yang digunakan anak-anaknya. Dalam hati, Yully menangis, melihat betapa anak-anaknya terus bertahan di depan layar, entah apa yang mereka pikirkan atau apa yang begitu menarik perhatian mereka hingga tak bisa melepaskannya.

Waktu makan, anak-anaknya sering lupa. Piring-piring makan yang seharusnya terisi penuh dengan makanan yang ia siapkan dengan penuh cinta, kini terabaikan di meja. Bau makanan yang sedap tak lagi menggugah selera mereka. Dahaga pun tak lagi dirasa, gelas-gelas minuman tetap penuh, seakan airnya telah berubah menjadi benda asing yang tak diperlukan. Hilang sudah peka rasa di raga mereka, tubuh yang dulu bersemangat kini hanya mengikuti perintah gadget.

Sholat, mengaji, anak-anaknya enggan. Adzan yang berkumandang di kejauhan seolah tak pernah terdengar di telinga mereka. Senandung adzan pun seolah tertutup oleh suara-suara digital yang memenuhi ruangan. Tertutup sudah segala panca indra, seakan dunia nyata telah menghilang dan digantikan oleh dunia maya yang terus menarik mereka lebih dalam.

Yully terbayang syaitan bahagia mendapat kawan, dalam kesunyian malam yang hening, hanya suara detik jam yang menemani. Hatinya seakan tertutup, tak mendengar panggilan jiwa yang rindu akan ketenangan. Lembutkanlah hatimu sayang, pikir Yully, agar terdengar rintihan sanubari yang memohon untuk berhenti sejenak, untuk merasakan kembali hangatnya kehadiran yang nyata, bukan sekadar bayangan di layar.

"Jangan kau turuti sesatnya hasrat," bisik Yully pada dirinya sendiri, seakan berdoa agar anak-anaknya bisa mendengar nasihat itu juga. Gadget itu tak akan pernah benar-benar memuaskan mereka. Semua tak akan pernah habis untuk mereka penuhi, meski terus mencari dan menggali, akan selalu ada yang lebih menarik, lebih menghibur, dan lebih menyita perhatian. Namun, apakah itu semua benar-benar penting?

Yully merindukan aroma malam yang lembut, suara jangkrik yang berirama, serta dinginnya angin yang menyapu lembut wajah. Semua itu nyata dan menunggu untuk dirasakan kembali. Ia ingin sekali melihat anak-anaknya matikan gadget mereka sejenak, reguk kembali nikmatnya dunia yang sesungguhnya, dan biarkan hati mereka mendengar panggilan cinta dari Yang Maha Kuasa. Sadarilah, pikir Yully dalam hati, bahwa dalam heningnya malam, ada keindahan yang tak pernah bisa tergantikan oleh kilauan layar gadget.

Dengan tekad baru, Yully bangkit dari tempat duduknya. Ia berjalan ke arah anak-anaknya, menyentuh pundak mereka dengan lembut, berusaha mengajak mereka berbicara, menceritakan betapa indahnya dunia di luar layar gadget mereka. Ia berharap, doa dan usahanya akan terjawab, dan malam itu, anak-anaknya akan kembali merasakan kehangatan keluarga yang nyata, bukan sekadar ilusi digital.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H



BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline