Lihat ke Halaman Asli

Teh Hijau di Malam yang Tenang

Diperbarui: 12 Juli 2024   06:21

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Fiksiana. Sumber ilustrasi: PEXELS/Dzenina Lukac

Di suatu malam yang tenang, Marsono duduk di kursi kayu di depan meja belajarnya. Meja itu terletak di sudut ruangan yang diterangi lampu meja kecil, memberikan suasana hangat dan nyaman. Angin malam yang sejuk masuk melalui jendela yang terbuka, membawa aroma segar dari bunga melati di halaman rumahnya.

Marsono membuka ponselnya dan bergabung dengan grup WhatsApp KBMN, siap mengikuti kuliah daring malam itu. Ia melihat pesan dari Edmu, moderator kuliah, yang baru saja masuk. Pesan tersebut berisi salam pembuka dan harapan agar semua peserta dalam keadaan sehat dan berbahagia, serta diberikan kemudahan dan kelancaran dalam mengikuti kegiatan belajar malam itu.

Marsono tersenyum dan membalas dengan penuh semangat. Sambil menunggu sesi dimulai, Marsono menyeduh secangkir teh hijau. Uap panas dari teh tersebut naik, membawa aroma harum yang memenuhi ruangan. Ia menyeruput teh hangat itu perlahan, merasakan rasa segarnya menyebar di mulutnya dan membuatnya lebih rileks.

Edmu kemudian mengajak semua peserta untuk berdoa sejenak sebelum memulai pembelajaran, berharap agar kuliah malam itu berjalan lancar. Marsono menutup matanya sejenak, meresapi suasana hening dan mengharapkan kelancaran dalam pembelajaran. Tak lama kemudian, Edmu melanjutkan dengan membagi pembelajaran malam itu menjadi empat sesi: pembukaan, pemaparan materi, tanya jawab, dan penutup. Ia juga memberikan format bagi yang ingin bertanya, mencatat format tersebut dengan teliti di buku catatannya.

Edmu memperkenalkan pemateri malam itu, seorang guru bernama Ditta Widya Utami. Beliau akan memberikan materi tentang mengatasi writer's block, topik yang sangat relevan dengan tugas akhir di kelas menulis. Setelah membuka tautan dan membaca profil singkat Ditta Widya Utami, Marsono merasa semakin antusias.

Setelah memperkenalkan diri, Edmu mempersilahkan Ibu Ditta untuk memulai sesi pemaparan materi. Marsono menyimak dengan seksama, merasakan betapa relevannya materi yang disampaikan. Ibu Ditta mengawali dengan mengajak peserta kembali mengenang masa kecil atau remaja, membuat suasana menjadi lebih interaktif. 

Suara Ibu Ditta yang tenang dan penuh semangat menambah keyakinan Marsono bahwa ia bisa mengatasi hambatan dalam menulis. Di sela-sela penjelasan, Marsono sesekali mencatat poin-poin penting, merasakan kertas yang halus di bawah jari-jarinya dan mendengar suara pensil yang berderak lembut.

Ibu Ditta menjelaskan bahwa menulis adalah kata kerja yang harus dilakukan agar menjadi bermakna. Namun, terkadang penulis merasa kehilangan ide dan produktivitas menurun. Istilah writer's block, yang pertama kali dikenalkan pada tahun 1940-an oleh psikoanalis Amerika Edmund Bergler, masih relevan hingga saat ini.

Marsono mendengarkan dengan seksama, merasakan betapa relevannya materi yang disampaikan. Malam itu, di bawah cahaya lampu meja yang hangat, Marsono merasa terinspirasi. 

Ia tahu bahwa setiap penulis menghadapi tantangan, dan dengan semangat dan kerja keras, ia pun bisa mengatasinya. Suara angin yang berhembus lembut melalui jendela dan aroma teh hijau yang masih tersisa di cangkirnya memberikan kesan tenang dan fokus. Dengan tekad baru, Marsono siap untuk melanjutkan perjalanan menulisnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline