Antara Jakarta dan kampung halaman! Judul besar sebuah persoalan.
Hikmah Ardini, aku panggil dia "Ne", perempuan luar biasa! Perempuan kaya raya namun sederhana, cita-citanya pun sederhana. Menikah pada tanggal 25 saat usianya 25 tahun atau setidak-tidaknya sebelum umur 26 dengan laki-laki yang disayanginya.
Bulan yang lalu, usianya sudah 25 tahun. Dia bahagia, namun ada yang kurang.
Kembali lagi dialog tentang Jakarta dan kampung halaman terrangkat ke permukaan.
"Sampai kapan kita begini Kak, salah satu dari kita harus ada yang mengalah! Ne, punya kewajiban menjaga Bapak yang mulai sakit sejak Mama meninggal belum lama ini. Ne juga punya adik yang harus Ne jaga dan Ne biayai sekolahnya ditambah lagi wasiat Mama supaya Ne tetap di kampung halaman!", aku terdiam sejenak, tarik nafas yang dalam, kuhembuskan perlahan. "Kakak tidak bisa tinggal disana, alasannya sudah sering Ne dengar. Kakak punya cita-cita yang besar dan di Jakartalah tempat yang tepat untuk menggapai itu semua. Ini untuk kita!".
Sebetulnya lebih dari itu sudah banyak persoalan yang diwariskan kepada kita, gumamku dalam hati.
Aku kurang mendapat tempat di keluargamu, karena persoalan yang diwariskan. Kamu diharapkan bisa menerima laki-laki pilihan keluarga dan kamu sedikit labil! Sesekali bersedia tinggal di Jakarta esok hari bilang tidak bisa!
Waktu terus berjalan, aku orang yang sedang mencari ketenangan setelah beberapa kisah terdahulu yang penuh pengkhianatan dan fitnah yang keji.
Aku mengerti akan bahasa kejujuran dan tangis ketulusan, aku dapati pada dirinya. Sebelumnya aku berfikir bahwa itu hanyalah bahasa novel.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H