Lihat ke Halaman Asli

Muhammad Quranul Kariem

Dosen Ilmu Pemerintahan Universitas Indo Global Mandiri

"Intervensi" Pilkada Serentak 2018

Diperbarui: 26 Juni 2018   10:33

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Analisis Cerita Pemilih. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Ketua Umum Partai Demokrat, sekaligus Presiden Republik Indonesia Ke 6 beberapa waktu yang lalu 'melayangkan' protes kepada pemerintah terkait adanya ketidaknetralan oknum BIN, POLRI, dan TNI dalam kontestasi pemilihan kepala daerah serentak 2018 ini. 

Protes tersebut memiliki dua makna, yaitu pertama adalah realitas politik, dan yang kedua adalah manuver politik, Namun penulis tidak akan terjebak dalam diskusi dua makna tersebut, penulis akan membedah kata 'intervensi' dalam sudut pandang tata kelola pemerintahan kita.

Struktur ketatanegaraan yang dimiliki Republik Indonesia menempatkan Presiden Republik Indonesia sebagai kepala negara sekaligus kepala pemerintahan (sistem presidensill) yang diusung oleh satu atau gabungan partai politik peserta pemilu dan dipilih langsung oleh rakyat. 

Negara yang menganut sistem pemerintahan parlementer menempatkan kepala negara diatas kepala pemerintahan, untuk menghindari terjadinya abuse of power serta meminimalisir crowded politik dalam negara. Sistem ketatanegaraan yang dimiliki oleh Indonesia walaupun secara teoritik adalah presidensil, namun ketika melihat dinamika politik saat pemilihan umum 2004, 2009, dan 2014, intervensi partai politik dan parlemen tidak bisa dihindari, dan 'menyandera' kepala negara yang seharusnya mempunyai posisi tertinggi dalam negara.

Dengan kondisi ketergantungan Presiden terhadap kondisi politik, maka secara realitas politik, sah -- sah saja ketika partai politik yang mempunyai kekuasaan, melakukan segala cara untuk melakukan intervensi dalam segala lini pemerintahan, termasuk menggunakan Lembaga -- Lembaga negara. 

Partai politik pada dasarnya didirikan untuk mengakomodasi kondisi ideologis masyarakat untuk disalurkan dalam setiap kontestasi politik, akan tetapi dalam alam kapitalisme yang dialami Indonesia saat ini, maka kondisi tersebut menjadi tidak lagi relevan, ditambah lagi dengan ongkos politik yang berbiaya sangat tinggi (high cost politics). 

Kontestasi politik tidak lagi untuk pesta demokrasi, penentuan estafet kepemimpinan langsung oleh rakyat, namun dijadikan ladang untuk merebut kekuasaan dan juga mempertahankan kekuasaan dengan segala cara, agar individu atau kelompok mendapatkan benefit  yang sebesar -- besarnya.

Para elite politik mengatakan bahwa demokrasi kita sedang berkembang dan membutuhkan waktu untuk itu, namun sebenarnya dengan waktu 14 tahun atau sejak kontestasi demokrasi dibuka tahun 2004, hingga saat ini fakta bahwa terdapat stagnasi demokrasi itu benar adanya. 

Stagnasi tersebut terjadi karena pola politik pragmatis warisan orde baru masih menjadi platform politik para elite, yang menciptakan kerakusan politik, oknum -- oknum politisi untuk membentuk oligharki dalam kekuasaan. Kalau bisa kekuasaan itu bertahan selamanya dan dapat diwariskan oleh anak cucu.

Pemaknaan demokrasi tersebut sangatlah tidak benar, karena demokrasi membutuhkan akal sehat para elite, karena mereka merupakan figur yang menjadi panutan publik. 

Dinamisasi dalam demorkrasi memang harus terjadi, dimana terdapat yang menang dan kalah, mendapatkan atau kehilangan kekuasaan, adanya pihak oposisi politik, pendukung politik, tuntutan atau aspirasi dari elemen seluruh masyarakat. Hal ini lah yang harus dipahami para elite, sehingga mereka tidak lagi menggunakan cara -- cara yang tidak patut dalam demokrasi kita. Demokrasi itu berarti kekuasaan rakyat, maka dari itu rakyat harus ditempatkan sebagai owner atau CEO dalam kekuasaan politik.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline