Penulis : Muhammad Qur’anul Karim, S.IP.
Peneliti, Penulis, Analis Politik dan Mahasiswa Pascasarjana JKSG UMY
Pemilihan legislatif dan pemilihan presiden yang akan dilaksanakan secara bersamaan mulai tahun 2019, adalah proses pemilu pertama pasca reformasi yang mengabungkan dua kontestasi politik lima tahunan. Konsekuesi logis yang diambil dari putusan Mahkamah Konstitusi yang mengabungkan kedua pemilihan tersebut adalah bahwa prosentase presidentary threshold tidak digunakan lagi, oleh karena itu setiap partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum, masing - masing berhak mengajukan calon presiden dan wakil presiden. Undang – Undang Dasar sebenarnya membolehkan pencalonan dengan mekanisme tersebut, namun kondisi di Indonesia yang menggunakan sistem multipartai ekstrem, maka ‘dikahwatirkan’ akan ada banyak calon presiden pada kontestasi pemilihan umum.
Rancangan Undang – Undang tentang penyelengaraan pemilu sedang dibahas di DPR, dan berbagai isu – isu mengenai scenario pileg dan pilpres yang disatukan mulai diberdebatkan. Pada hakekatnya, memang adanya presidentary threshold selama ini kerap dijadikan sebagai ajang ‘bagi – bagi keuasaan’ oleh para elit partai politik, dengan perolehan suara partai politik dan jumlah wakil – wakil nya di parlemen. Namun, dengan adanya keputusan ini, ruang untuk ‘transaksi’ politik akhirnya hampir pasti tertutup.
Momentum ini sebenarnya merupakan awal untuk melakukan reformasi tata kelola pemilu dan kepartaian yang ada di Indonesia, mengingat realitasnya politik di Indonesia berlabelkan ‘high cost politics’, sehingga harus ada solusi untuk memutus paradigm tersebut, yang akan berdampak negative dengan melahirkan tindak pidana korupsi di kalangan pejabat public dan elit politik. Oleh karena itu diperlukan pembenahan – pembenahan secara ‘radikal’ untuk memperbaiki sistem pemilu dan partai politik di Indonesia.
Pertama adalah, dengan memperbaiki tata kelola partai politik di Indonesia, dengan melakukan pembiayaan partai politik oleh negara, yang akan di audit oleh Badan Pengawas Keuangan setiap tahunnya, tidak hanya itu sumbangan dana dari swasta juga harus dibatasi, dikontrol serta diawasi secara profesional. Investasi negara dalam dunia politik, merupakan sarana utama untuk memperbaiki system politik dalam rangka mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Konsekuensi dari pembiayaan tersebut adalah memperbaiki proses kaderisasi atau rekrutmen partai politik secara terbuka, meningkatkan peran partai politik dalam rangka melaksankan Pendidikan dan sosialisasi politik, meningkatkan kualitas kadernya yang akan dipersiapkan untuk menduduki jabatan eksekutif ataupun legislative.
Kedua adalah menyederhanakan system multi partai ekstrem yang diterapkan di Indonesia, menjadi system multi partai proporsional, dengan menerapkan kebijakan atau aturan untuk memperketat proses verifikasi partai politik. Secara praktis, peran kepala negara juga diperlukan, untuk membuka komunikasi politik, dalam rangka ‘menyatukan’ partai – partai politik dengan plafom yang sama untuk menciptakan sistem multi partai yang proporsional.
Dalam konteks pileg dan pilpres yang diselengarakan secara bersamaan, setiap partai politik atau gabungan partai politik yang telah lulus proses verifikasi berhak mengajukan calon presiden dan wakil presiden. Calon tersebut harus melalui uji public, yang dilaksanakan secara terbuka, penjaringan calon juga dapat dilakukan dengan proses konvensi yang bertahap, sehingga masyarakat dapat mengenali calon – calon presiden dan wakil presiden dengan baik. Regulasi mengenai money politics harus dipertegas dan diperjelas, dengan konsekuensi pidana berat.
Calon – calon anggota legislative di setiap hierarki pemerintahan juga wajib diperkenalkan di public sebelum masa kampanye dimulai, dengan ‘pertarungan politik’ yang digeser dari pertarungan antar calon legislative dari satu partai atau lintas partai, kedalam pertarungan ideologis, plafom dan konsep partai politik. Sehingga dalam pemilihan legislatif yang digunakan bukan lagi system proporsional terbuka, yang memungkinkan pertarungan suara antar calon dalam satu partai namun yang digunakan adalah system proporsional tertutup dengan tetap mengenalkan calon – calon di surat suara, dalam artian dengan mencoblos partai politiknya.
Budaya opisisi juga harus dimasukkan kedalam rancangan undang – undangan penyelengaraan pemilihan umum, dengan klausul pembatasan koalisi partai politik dalam pemerintahan yang berakhir dan ditetapkan dalam tataran pra kontestasi pemilihan umum. Artinya partai politik atau gabungan partai politik pemenang pemilu, akan dapat ‘menguasai’ eksekutif, dan partai politik atau gabungan partai politik yang kalah otomatis akan menjadi oposisi dalam rangka meningkatkan kualitas check and balances. Sistem ini akan menciptakan sikap ‘kehati – hatian’ partai politik dalam menentukan arah koalisi, dan menciptakan persaingan peta politik yang lebih sederhana.
Untuk menciptakan stabilitas dan kondusifitas politik, sebaiknya pemilihan kepada daerah (pilkada) serentak diintegrasikan dalam konteks RUU penyelengaraan pemilu. Pilkada dan Pemilu mempunyai konteks yang sama, keduanya tidak dapat dijadikan sebagai objek – objek yang mandiri. Jika kita melihat kondisi politik di Indonesia pasca diterapkannya UU Pilkada, pilkada serentak 2015 dan 2017, secara langsung maupun tidak langsung meningkatkan frekuensi aktivitas politik Indonesia. Hal itu akan berdampak pada stabilitas politik yang sulit untuk diwujudkan, mengingat sebenarnya 2015 merupakan tahun konsolodasi politik pasca pilpres, namun pilkada 2015 kembali meningkatkan frekuensi politik, dan juga tahun 2016 adalah tahun persiapan politik untuk pilkada serentak tahun 2017, belum lagi pilkada yang akan dilaksanakan pada tahun 2018 nanti yang bertabrakan dengan tahun politik menuju 2019.