Lihat ke Halaman Asli

Menanti 'Judgement Day' untuk Sepakbola Indonesia

Diperbarui: 25 Juni 2015   00:17

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Olahraga. Sumber ilustrasi: FREEPIK

Setelah melewati berbagai intrik di setiap episode nya, ternyata silang sengkarut sepakbola di negeri ini masih belum menampakkan tanda tanda berakhir. Seperti serial drama, penonton di suguhi thriller seolah-olahprahara ini akan berakhir ketika kedua pihak menandatangani Nota Kesepahaman atau Memorandum of Understanding di Kuala Lumpur beberapa bulan yang lalu. Namun yang terjadi justru eskalasi konflik meningkat dan apa boleh buat saya sebagai penonton hanya bisa ‘menikmati’ episode demi episode sambil menebak nebak apa yang terjadi selanjutnya. Layaknya nonton film penonton juga bercampur ekspresinya ada yang geregetan, menghela nafas, ketawa, marah melihat aksi para aktor dari dua kubu yang berseteru memperlihatkan aksinya.Dan sayapun latah mencomot juduldari subjudul sequel film Terminator III : Judgement Day supaya tambah lebay. Let’s get to see the show bibeh.…..

Seperti yang pernah saya tulis sebelumnya, untuk mengklaim sebagai induk organisasi sepakbola SEUTUHNYA di negara ini harus mendapat pengakuan dari empat ‘penjuru mata angin’ ( baca : legitimasi ). Yaitu :

1. . FIFA/ AFC sebagai otoritas tertinggi

2. . Pemerintah RI ( Kemenpora & KONI ) karena bagaimanapun PSSI berkedudukan di Indonesia dan dana    operasional masih bergantung pada APBN dan infrastrukrur masih jadi milik negara.

3. . Anggota ( klub dan pengda ), bagaimana mungkin sebuah organisasi tanpa anggota?

4. . Publik sepakbola ( supporter, media dan masyarakat pada umumnya ).

Kalau kita mengacu pada 4 pilar diatas baik PSSI maupun KPSI ( PSSI Ancol ) tidak utuh mendapatkannya. Sampai saat ini PSSI yang diketuai Prof. DA masih mendapat cap ‘legal’ dari FIFA/AFC sebagai federasi resmi . Sementara KPSI hanya diakui sebagai ‘ perwakilan para anggota PSSI’ walau di dalam negeri mereka juga mengklaim sebagai PSSI sebagai amanat KLB Ancol. Pemerintah RI ( Mennegpora & KONI ) secara normatif juga masih mengakui Prof DA sebagai ketua PSSI walau melihat perkembangan kasus PON dan gesture kedua institusi tsb sepertinya pengakuan itu sudah tidak sepenuh hati. Sementara untuk pengakuan anggota saya tidak akan membahasnya karena saya tidak punya kompetensi untuk menilainya. Tapi kalau menurut klaim KPSI , sang Professor sudah tidak mendapat legitimasi dari anggota. Dan sang Professor pun sudah mensiasati dengan mengangkat caretaker pengprov entah ini dibenarkan apa tidak. Siapakah yang berhak mewakili pemilik suara inilah sebetulnya yang akan menentukan hasil dari Konggres yang direncanakan bulan November nanti. Konggres yang bisa jadi akan menjadi ‘Judgement Day’ atau hari penentuan buat mengakhiri silang sengkarut ini. Okelah , biar para aktor di Joint Committee yang akan beradu argument dengan wasit AFC/FIFA karena kalau tanpa wasit dijamin akan deadlock.

Saya justru tertarik mengulas ‘legalitas informal’ dari publik sepakbola Indonesia. Mengapa saya menyebutnya ‘legalitas informal’ ? Karena meskipun publik tidak punya suara langsung di konggres tapi kadang aspirasinya ikut sebagai faktor ‘penekan’ pada 3 kekuatan formal tersebut. Aspirasi publik lebih ‘genuin’ karena relative bebas kepentingan ( meski ada juga yang berkepentingan dengan klub yang didukungnya ). Bagi publik secara umum satu satunya kepentingan adalah prestasi yang mampu diukir oleh tim nasional di ajang internasional. Maka mereka hanya mau melihat tim nasionalnya adalah kumpulan para pemain terbaik entah darimana dia berasal asal WNI. Hal yang sampai sekarang sulit diwujudkan karena terbelenggu oleh ego dua kubu yang berseteru karena berbeda menafsikan isi MOU.

Bagi saya dan publik sepakbola pada umumnya performa dan prestasi tim nasional adalah puncak dari sebuah perwujudan sepakbola sebuah negara. Mau bagaimana bobroknya pengurus atau amburadulnya kompetisi domestic jika performa dan prestasi timnasnya bagus, boleh jadi publik secara umum tidak akan begitu ambil pusing dengan silang sengkarut ini. Lihatlah publik Italia yang segera terobati begitu timnasnya juara dunia 2006 setelah sebelumnya diguncang skandal calciopoli yang melibatkan klub klub besar. Jika diibaratkan anak kuliahan, prestasi timnas ini mempunyai bobot SKS tertinggi. Jika jurusan yang anda pelajari adalah Ilmu Teknik tentu bobot IPK anda akan jeblok jika materi kuliah teknik anda minus walaupun mata kuliah Pancasila mendapat nilai A sekalipun. Sejarah juga mencatat, prestasi timnas akan lebih dikenang daripada hal lain yang dikerjakan oleh pengurus PSSI terdahulu.

Bayangkan prestasi tim Merah Putih pada tahun 1956 di Olimpiade Melbourne yang cuma bisa menahan seri 0-0 Uni Sovyet. Kita tidak pernah tahu siapa ketua PSSI nya dan apa yang dilakukan tapi yang terekam dimemori publik adalah ‘prestasi’ yang diraihnya. Kita pasti lebih mengenang nama nama Sutjipto ‘Gareng’ Suntoro dkk ditahun 60an hingga 70an tanpa mengenal siapa ketua PSSI nya. Terus apa yang paling dikenang dari kepengurusan PSSI dibawah Kardono ? Tentu saja prestasi Hery Kiswanto dkk yang hampir lolos Piala Dunia Mexico ’86 sebelum dihentikan Korea Selatan. Setahun sesudahnya tim yang sama meraih 4 besar di Asian Games di Seoul. Dan Indonesia menyabet medali emas dua kali juga di masa Kardono walaupun di masa beliau juga diwarnai skandal suap dan pengaturan skor. Di masa Azwar Anas publik akan mengenang aksi salto Widodo C Putro yang menjadikannyasebagai ‘ Gol terbaik di Asia tahun 1996. Tapi publik juga merekam memori buruk atas pertunjukan sirkus pemain kita di ajang Piala Tiger 1998 yang lebih dikenal dengan sepakbola gajah yang sangat memalukan bersama Thailand.Jadi siapapun anda yang memimpin PSSI publik akan mengenang anda atas pencapaian tim nasionalnya. Jadi kenangan apa yang akan anda berikan buat publik sepakbola nasional setelah tragedi di Bahrain itu? Camkan itu wahai tuan tuan ! Publik akan mendukung atau menghukum anda berdasarkan pencapaian tim nasional dan apa yang telah anda lakukan pada tim nasional. Publik merindukan ‘orgasme bareng’ dengan teriakan yang gemuruh ketika si Paijo, si Ucok, si Ujang atau si Solossa dengan kostum merah putih dengan lambang Garuda ( atau putih hijau tentunya ) menjebol jala lawan.

Tuan tuan boleh saja berdalih mendapat mendapat legalitas dari FIFA dan AFC atau mengaku mendapat amanat dari lebih dari 2/3 anggota tapi publik punya cara sendiri untuk untuk menentukannya. Dalam situasi sekarang publik akan melihat bagaimana respon anda untuk mengembalikan tim nasional sebagai kekuatan terbaik. Kalaupun nanti dengan tim terbaik itu juga belum menghasilkan prestasi yang memuaskan publik tidak akan terlalu mencemooh karena sudah menurunkan kekuatan maksimal. Dibutuhkan tidak hanya sekedar taat aturan tapi lebih dari itu yaitu sebuah kebijaksanaan. Jika anda hanya sebatas menjalankan aturan maka anda hanya bertindak sebagai ketua atau penguasa tapi kalau anda bertindak bijaksana anda telah masuk pada level pemimpin. Pada situasi sekarang yang diperlukan bukan lagi bertindak benar tapi bijaksana.

Ada seorang walikota di Jawa Tengah yang dengan bijaksana menggusur para pedagang kakilima tanpa melibatkan satpol PP padahal dia bisa saja mengusir dengan cara paksa karena para PKL itu illegal dan sang walikota bisa berlindung dibawah Perda atau Undang Undang. Namun dia memilih cara pemimpin dari pada cara penguasa dan namanyapun harum hingga dicalonkan sebagai pemimpin di ibukota di sebuah negara besar. Apakah saya menganjurkan melanggar aturan ? Tidak tuan, bagaimanapun aturan itu adalah alat bukan tujuan.Itulah yang pernah dilakukan para negarawan ( bukan penguasa ) negeri ini.

Tapi bagaimanapun saya hanya bisa teriak sambil menunggu ‘Judgement Day’ akan segera tiba dan fajar baru muncul. The End …

Salam keris,

4.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline