Tanggal 6 April 1925 merupakan satu tonggak sejarah baru perkeretaapian di Indonesia. Di hari itu, sistem kereta listrik di jalur utama diresmikan dengan meriah. Peresmian yang meriah itu dilakukan bertepatan dengan perayaan 50 tahun Staatsspoorwegen, perusahaan kereta api milik negara era Hindia Belanda. Perjalanan kereta listrik di Indonesia hingga saat ini, 98 tahun kemudian, dimulai pada hari itu.
"Kereta festival benar-benar penuh. Minat umum sangat fenomenal. Publik menolak meninggalkan stasiun dan dipenuhi dengan suara trompet. Kereta listrik tepat waktu." Itulah bunyi telegram yang dikirimkan oleh Van Schalk, kepala eksploitasi kereta api negara kepada kepala inspektur yang berada di Bandung pada saat peresmian pengoperasian kereta listrik oleh Staatsspoorwegen, yang kemudian dioperasikan oleh unit usahanya yaitu Electrische Staatsspoorwegen.
Kereta listrik mengalami perjalanan yang sangat panjang hingga hari ini. Dari hanya jalur antara Meester Cornelis (Jatinegara)-Tanjung Priok yang terelektrifikasi, kini setidaknya enam lin utama KRL di Jabodetabek yaitu Lin Bogor beserta lin cabangnya menuju Nambo, Lin Lingkar Cikarang, Lin Rangkasbitung, Lin Tangerang, Lin Bandara, dan Lin Tanjung Priok telah menggunakan KRL sebagai armada komuter utamanya.
Di luar itu, terdapat pula Lin Yogyakarta sebagai lin KRL heavy rail pertama di luar Jabodetabek yang beroperasi sejak 2021. Ada pula LRT Sumatra Selatan yang beroperasi sejak 2018 dan LRT Jabodebek yang akan beroperasi tahun ini. Di luar perusahaan operator kereta api plat merah, ada pula MRT Jakarta dan LRT Jakarta serta Kereta Cepat Jakarta-Bandung yang armadanya juga menggunakan KRL, walaupun KRL armada kereta cepat tentu saja bukan KRL selayaknya KRL Commuter Line.
Demikian pula LRT Sumatra Selatan, LRT Jakarta, dan LRT Jabodebek, yang walaupun dapat disebut sebagai KRL, namun sejatinya merupakan light rail vehicle. Kereta-kereta ini memiliki bobot yang lebih ringan dan ukuran yang lebih ringkas, sesuai dengan namanya.
Perjalanan kereta listrik di Indonesia bukan sepenuhnya mulus karena pernah beberapa kali mengalami naik dan turun. Bahkan ketika armada kereta listrik baik KRL maupun lokomotif listrik sudah semakin tua di era 1960an, perjalanan kereta listrik sempat terhenti. Barulah menjelang akhir 1970an, perjalanan kereta listrik kembali lagi berkat pengadaan armada KRL dari Jepang yang didanai pinjaman Official Development Assistance (ODA).
Setelahnya, kualitas pelayanan KRL sempat menurun kembali di akhir 1990an, ketika banyaknya armada KRL baik KRL yang diimpor dari Jepang sejak 1976 maupun KRL buatan INKA yang diproduksi sejak 1992 pintunya rusak dan tidak bisa tertutup. Selain itu, kepadatan penumpang juga cukup luar biasa hingga penumpang harus bergelantungan atau naik di atap. Kondisi ini mengundang rasa iba, lagi-lagi dari pemerintah Jepang, untuk kemudian menghibahkan 72 unit KRL milik Pemerintah Kota Tokyo ke Jakarta dalam keadaan bukan baru.
Setelahnya, KAI selaku operator kereta api nasional yang kemudian dilanjutkan oleh KCJ (kemudian menjadi KCI lalu KAI Commuter) terus mendatangkan KRL bukan baru dari Jepang mulai 2004 hingga terakhir kali pada 2020 lalu. Totalnya sebanyak 1.488 unit telah diimpor dari Jepang ke Indonesia dalam rentang 20 tahun tersebut.
Dari jumlah tersebut, 185 unit merupakan hibah dan operator hanya membayar ongkos pengiriman. Sedangkan sisanya merupakan pembelian di mana terdapat beberapa komponen biaya yang harus dibayar untuk setiap satu unit kereta. Sehingga asumsi umum bila semua KRL bekas itu hibah jelas merupakan asumsi yang kurang tepat.
Walaupun demikian, terdapat pula beberapa kali pengadaan KRL melalui INKA yang diinisiasi oleh pemerintah di milenium 2000an, yaitu 8 unit pada tahun 2001 dan 40 unit pada tahun 2011. Sayangnya KRL-KRL ini, sebagaimana KRL-KRL buatan INKA di dekade 1990an, gagal menunjukkan tajinya di Jakarta akibat seringnya terjadi gangguan operasional baik teknis maupun nonteknis.