"Males ah..."
Dulu, begitu selalu jawaban Sinta jika orang-orang di sekitarnya mulai berkomentar, "kamu ga bosen hidup sendirian..?", "masih mau cari pasangan ga..?", "siapa yang ngerawat kalo kamu sakit, sementara anak-anakmu tinggal jauh darimu..?".
Tapi... Itu dulu...
Sinta kecil tak pernah menyangka jika di masa dewasanya akan mengalami kegagalan dalam rumah tangga. Ya, Sinta pernah memiliki keluarga kecil yang diramaikan oleh hadirnya dua anak, lelaki dan perempuan. Kehidupan keluarga kecil Sinta cukup tenang hingga datang suatu musibah yang menimpa suaminya terkait pekerjaannya di kantor. Suami Sinta yang bekerja sebagai kepala bagian penyimpanan hasil produksi di suatu perusahaan air minum terkenal terkena efek perampingan karyawan sehingga mau tidak mau harus mengundurkan diri dari perusahaannya.
Sejak suaminya tidak lagi memiliki mata pencaharian tetap, Sinta lah yang harus berperan menjadi tulang punggung keluarga kecilnya. Walau harus terus aktif bekerja, Sinta tak pernah melalaikan tugasnya sebagai istri sekaligus ibu. Karena itulah Sinta harus ekstra pandai dalam mengatur waktu melaksanakan berbagai perannya.
Awalnya suami Sinta masih rajin melamar pekerjaan ke berbagai perusahaan, namun semakin lama hasrat untuk bekerja semakin memudar. Suami Sinta menjadi semakin nyaman berada di rumah tanpa aktivitas yang menguras tenaga. Kegiatan sehari-harinya hanya makan, tidur, merokok dan bersantai. Lama kelamaan sifat egoisnya mulai muncul ke permukaan. Sinta sering menjadi korban KDRT yang dilakukan suaminya.
Sebagaimana layaknya harapan wanita manapun, Sinta tentu tak pernah ingin mengalami kegagalan dalam rumah tangganya. Namun apa daya, takdir Allah membawa Sinta menjadi single parent di usia muda. Karena sudah tidak kuat menjadi korban kekerasan suaminya, Sinta harus mengalami perceraian di saat kedua anaknya berusia 13 dan 8 tahun. Selanjutnya Sinta kembali ke rumah orang tuanya dengan membawa serta kedua anaknya. Sejak saat itu, Sinta harus berperan ganda sebagai ibu sekaligus sebagai ayah bagi kedua anaknya.
Sakit dan trauma tidak hanya Sinta yang rasa, kedua buah hatinya pun menuai efek dari perceraian kedua orang tuanya. Mereka tumbuh menjadi anak-anak yang pendiam dan tertutup. Kedua anak Sinta menjadi sangat sensitif dan sulit beradaptasi dengan lingkungan baru, baik lingkungan sekolah maupun lingkkungan tempat tinggal mereka.
Setelah melewati tahun-tahun penuh tangisan, hanya anugerah Allah yang membuat Sinta dan kedua anaknya berhasil menjalani hidup dengan normal kembali, hingga anak-anaknya melewati masa remaja dan mulai memasuki masa-masa kuliah di kampus pilihan masing-masing. Apakah mereka bahagia? Tampaknya IYA...
Namun yang tidak diketahui orang lain adalah, betapa Sinta masih sering menangis dalam kesendirian, meratapi jalan hidupnya, hingga merasakan ketakutan saat mulai merasa dihinggapi berbagai penyakit. Yang tidak diketahui orang lain adalah, betapa Sinta sering merasa marah dan iri jika melihat teman-teman di sekelilingnya hidup bahagia dalam suasana "lengkap", bersama suami dan anak-anak mereka.
Kesedihan, kemarahan, ketakutan, kekecewaan, semua disimpan rapat-rapat dalam bilik hati Sinta, karena sebagai PR sebuah perusahaan ternama Sinta dituntut untuk selalu tersenyum dalam berbagai situasi. Semua komentar terhadap kesendiriannya, selalu Sinta jawab dengan senyuman dan candaan kalimat pendek "males ah..."