Lihat ke Halaman Asli

Cermin Keramat Rani

Diperbarui: 24 Juni 2015   17:59

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

13613687871208408712

Pagi ini Rani bergegas ke kampus. Sudah menjadi kebiasaan baginya berangkat ke kampus agak telat, bahkan sering telat. Namun kali ini Rani tak ingin telat karena hari ini adalah hari pertamanya di semester empat setelah melewati liburan panjang. Setelah bersiap-siap, sarapan dan pamit pada mamanya, tak lupa ia menyempatkan diri mematut wajahnya di cermin kecil yang selalu ia bawa kemanapun ia pergi. Baginya cermin adalah segalanya, tak peduli cermin yang mana. Ia selalu kagum menatap pantulan bayangannya dalam cermin.

“Wahai cermin ajaib, siapa yang paling cantik di duniaku?” tanyanya pada cermin yang membisu, walaupun tak ada jawaban dari sang cermin, namun Rani selalu tau jawabannya.

Dengan riang ia melangkah menuju kampus tercinta. Sudah sebulan lebih ia tak bertemu dengan sahabat-sahabat tersayangnya. Ia merindukan mereka. Merindukan canda tawa mereka, merindukan senyum mereka. Ia bahkan sudah tak sabar lagi bahkan lima belas menit lagi.

Mereka pasti punya cerita yang berbeda. Rani membayangkan wajah keempat sahabatnya satu-persatu selama di perjalanan menuju kampus. Diah, Nia, Vika, dan April. Rani baru menginjak gerbang kampus ketika didengarnya sesorang memanggil namanya histeris. “Rani….!” Ia menoleh mencari sumber suara yang tak pernah terasa asing di telinganya.”Vika…..!” balas Rani berlari-lari kecil menghampiri Vika, dan Vika pun melakukan hal yang serupa, persis seperti adegan di film India.

“Aku masih imut kan, Ka?” tanya Rani sumringah ketika Diah ikut bergabung. Mereka bertiga berpelukan di depan gerbang kampus, mengundang tatapan “mau ikutan pelukan juga” dari segerombolan cowok-cowok di sekitar mereka. Setelah melakukan ritual-ritual “long time no see” mereka menuju kelas bersama-sama.

Kehadiran mereka di kelas langsung disambut oleh Nia dan April yang sudah lebih dulu tiba. Suasana kelas yang masih sepi karena mahasiswa lainnya belum datang, seketika menjadi ramai karena lima badut ancol sudah lengkap berkumpul memecah keheningan. Hati mereka masing-masing membuncah tak sabar ingin menumpahkan segala perasaan dan kenangan mereka selama liburan.

“Apa kabar nih Durian Montong?” Diah mencubit pipi Nia dengan gemas, Nia Cuma bisa manyun disambut gelak tawa teman-temannya. Guyon demi guyonan mengalir, hingga tak terasa kelas sudah terisi penuh dengan teman-teman yang lainnya. Semua berwajah ceria hari ini, karena sudah tak sabar menantikan kehadiran dosen Akuntansi baru yang menurut gosipnya sih..hmmm..mirip Zumi Zola. Dasar mahasiswa!

*****

“ Ran, pinjem kaca donk.” Diah merampas kaca cermin dari tangan Rani dengan sadis bahkan sebelum Rani memberikanizin peminjamannya. “Ah, pelan-pelan dong ngambilnya..entar kalo pecah aku nangis lho ya!” protes Rani. “Iye.” balas Diah gak acuh, kemudian mulai sibuk memperhatikan komedo di wajahnya. Rani emang paling sayang sama cerminnya itu.

Cermin kecil yang ini tu cermin ketiga setelah yang pertama pecah karena jatuh dengan sukses dari tangan-tangan penuh dosa, sedangkan yang kedua Rani lupa cermin keramatnya ditaruh dimana, alhasil setelah kelimpungan mencari dan bertanya sana-sini siapa oknum terakhir yang meminjam cermin keramatnya itu (maklum, cermin keramat ini banyak diminati khalayak ), Rani mengikhlaskan rasa kehilangannya dan mencari gantinya.

Cermin keramat ini sangat diminati karena fungsinya yang beragam. Mulai dari fungsi umumnya, yaitu buat ngaca, cermin ini juga dipake dengan sadis untuk beragam fungsi, dari mulai buat ngegosok undian berhadiah di minuman gelas, sebagai tatakan ujian, buat memantulkan cahaya yang menyilaukan, iseng –iseng di kelas kalo lagi matahari terik di siang hari sampai dijadikan sebagai instrument nyontek pun bisa. Keramat kan???

“Vika, liat deh.. aku cantik gak ?”, tanya Rani sambil berkaca disela-sela aktivitas mengerjakan sederet angka-angka debit dan kredit yang memaksa untuk diperhatikan dan diperlakukan secara adil sehingga mendapatkan hasil yang seimbang antara sisi kolom kanan dan sisi kolom kiri.

“Iye.. cakep kok..emmh..kalo utang bertambah tu debit atau kredit Ran?” jawab Vika sekalian nanya. “Ah, pasti bilang cantiknya enggak ikhlas deh. heem..di debit mereun..aku taunya kalo utang pulsa ya dibayar!”, Rani mulai kesel.

“Ha? Hehehehehe. Iya Ran. Yaampuuun. Mau berapa kali sih nanyanya? Itu mulu. Kamu itu cantik kok! Cantik!” Vika tersenyum nakal pada sahabatnya yang paling chilidish diantara mereka itu. “Pinjem donk kacanya!” segera saja kaca keramatnya berpindah tangan pada Vika. “Aku cantik gak? Hehe’’ tak ayal kertas-kertas bekas menghambur kepadanya.

****

Sore ini Rani termenung di halaman rumahnya, teringat kelakuan-kelakuan sahabatnya di kampus tadi. Tampaknya mereka juga sedang dilanda masalah namun belum ada yang mau buka cerita, begitu juga dengan dirinya. Senyum mereka memang ceria, tapi tak satu orang pun dari mereka yang mampu menyembunyikan masing-masing kegalauan hatinya.

“Hmmp..cerminku sayang, aku udah gak sabar nih mau cerita banyak sama mereka. Tapi belum ada waktu ngumpul. Mungkin hari minggu. Uuh..gak sabar pokoknya.” Curhat Rani pada cermin keramatnya yang masih tetap mendengarkannya dalam diam.

***

Vika duduk merenung sendirian di balkon rumahnya, ia teringat pembicaraannya dengan Rani waktu istirahat di kampus tadi. Vika selalu penasaran mengapa cermin Rani selalu menjadi keramat buatnya.

Di kampus……

“Nih, kaca nya.. makasih ya?” April melemparkan kaca keramat itu ke atas meja Rani. Rani hanya bisa pasang tampang kesel dan sakit hati. Ya ampun kaca gue…batin Rani. “Vika..kacaku…” rengek Rani padaku.

“Kenapa lagi Ran?” tanya Diah. “Kacaku masa tadi dilempar gitu aja sama April, sakiiiiit hatiku liatnya.” jawab Rani lirih tapi lebai sambil mengelus-elus kaca keramatnya seolah-olah itu kaca bakal bilang “Sakit ni sayang, aku dibanting-banting sama dia

“Yaudah sih Ran, Cuma kaca gitu loh! Hehehe.” Nia selalu saja menyepelekan kaca keramat Rani, hal ini selalu membuat Rani kesal dalam hati. “Ya map, Rani, April kan gak tau.” April pasang tampang sok nyesel.

“Makanya ngertiin gue! Kalian tu gak tau sih.. di dalam kaca ini terdapat satu kekuatan besar yang bisa bikin aku ngerasa gimanaaa gitu.. “Sesuatu yang bisa bikin aku ngerasa pede. Dari sini aku bisa liat diriku sendiri.” debat Rani terang-terangan.

Baru kali ini dia bilang begitu. “Yaiyalah Ran, kamu bisa liat dirimu sendiri di situ, namanya juga cermin. Hadeuuh.” timpal Nia yang gak pernah setuju sama pendapat Rani tentang cerminnya. ”Bukan itu, tapi aku bisa liat the real Rani di situ.” Yeah whatever beby.

****

Hari Minggu akhirnya menghampiri kelima sahabat yang dirundung kegalauan. Hari ini mereka berencana akan mencurahkan segala kegalauan hati mereka pada empat badut ancol lainnya.

Mereka duduk berlima di sebuah taman yang rindang. Tempat mereka biasa berkumpul untuk berbagi cerita, berbagi pahit dan manisnya apa yang mereka rasa. Namun kali ini terasa beda. Semua diam. Menatap sendu ke arah jalanan yang sepi. Taman ini mengahadap ke jalan yang selalu sepi, bahkan pada sore hari begini. Hanya ada beberapa orang yang berjalan dalam diam di jalan tersebut.

Desiran angin membawa suasana makin mencekam. “Hey, katanya mau curhat.” April membuka suara, namun keempat lainnya masih diam. Vika sibuk dengan ponselnya yang tak berhenti berdering menerima sms dari pacarnya. Mereka sedang perang via sms karena Rio salah kirim sms yang diduga sms tersebut untuk selingkuhannya, bukan untuk dirinya.

Diah masih menatap kosong hamparan rumput di depannya, sambil sesekali mencabutinya. Nia resah, tak tau apa yang ingin ia ucapkan, namun sorot matanya menyampaikan segalanya. Dan Rani masih seperti biasa, menatap cermin keramatnya lekat. Mengagumi bayangan dirinya dalam cermin.

April menarik napas dalam-dalam. “Aku sudah mulai bosan dengannya. Minggu lalu sengaja aku pergi tanpa izin darinya. Diam-diam ternyata dia mengikutiku. Aku pergi ke rumah seorang teman lamaku. Cowok.” April menutup matanya sejenak, melepas sedikit beban di hatinya.

“Pantas aja dia marah sama kamu, kamu pergi ke rumah cowok lain.” Nia menyetujui tindakan marah Dika, kekasih April. “Tapi kan aku…..” April menggantung kalimatnya. Percuma, mereka pun tak akan paham apa yang sebenarnya terjadi.

“Kenapa ibuku gak pernah bisa mengerti apa yang aku rasakan. Ia tak pernah mau tau betapa aku mencintai Andi. Rasanya aku mau kawin lari saja.” pernyataan itu mengalir begitu saja dari mulut Nia.

“Aku benci dia. Kenapa dia selalu saja mengganggu hubunganku dengan Andri. Memangnya gak ada cowok lain di dunia ini selain Andri? Andri itu cowokku!” teriak Diah pada angin, ia tak peduli siapa yang akan mendengarkannya.

“Aku ingin pulang….” Ujar Diah pelan akhirnya, ia sudah muak berada di sana. di tempat yang ramai, tapi seolah tak ada yang mendengarkannya bicara..

“Kenapa kamu salah kirim sms? Kamu masih punya hubungan kan dengannya? Aku sudah muak dengan semua omong kosongmu!” Vika memutuskan sambungan telepon genggamnya. Terduduk lemas dan menangis tanpa suara.

“Kalian gak mau dengar aku cerita?” ujar Rani kesal. Mengapa kali ini teman-temannya sibuk dengan ceritanya masing-masing, tanpa peduli siapa yang mau mendengarkan. Hanya bercerita pada angin yang berlalu meskipun nyatanya mereka kini saling berhadapan.

Mereka hanya kembali diam, sibuk pada pikiran masing-masing yang entah ada di mana sekarang. Perlahan April bangkit dari duduknya dan berjalan pelan meninggalkan teman-temannya. Pulang.

Setelahnya Vika, Diah dan Nia pun mengikutinya. “Apa kalian gak mau dengar ceritaku? Mereka semua mengkhianatiku. Mereka semua gak memahamiku. Aku benci mereka semua. Cuma mau didengarkan tapi nggak mau mendengarkan, Cuma mau dimengerti tapi nggak pernah mau mengerti, mereka juga nggak mau memahami meski sesungguhnya mereka paham. Mereka semua sama aja. Sama seperti kalian!” Rani menumpahkan segala kekecewaannya dalam satu tarikan napas, hingga ia tersengal.

Keempat sahabatnya terpaku mendengarkannya, kemudian berlalu. Pulang. Meninggalkannya sendirian. Tidak, ia tidak sendirian. Sang cermin kebanggannya masih setia menemaninya.

Lama Rani tertegun sendirian. Menyadari apa yang baru saja ia teriakkan pada keempat badut ancol kesayangannya. Ia sungguh tak bermaksud berkata begitu pada mereka, tapi semua itu adalah luapan emosinya. Biarlah. Batinnya. Ia mulai menyibukkan dirinya pada cermin keramatnya. Ditatapnya bayangannya selekat-lekatnya.

Betapa kagetnya Rani ketika ia seolah mendengar seseorang bicara dari dalam cerminnya. “Ketika kamu merasa tak ada orang yang peduli padamu, bercerminlah. Orang yang kamu lihat di sana membutuhkanmu lebih dari siapapun.”

Rani kembali ke rumah dengan seulas senyuman di wajah manisnya. Beban di pundaknya seakan terbang bersama hembusan angin senja yang manja menerpa wajahnya dan menyapu habis kegalauan hatinya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline