Kondisi global awal tahun 2020 lalu menjadi bagian dari sejarah terbesar umat manusia. Virus yang menyebar seakan memaksa manusia untuk terbiasa dengan kebiasaan-kebiasaan baru yang belum pernah dilakukan atau bahkan tidak terpikirkan sebelumnya.
Nyaris semua cara hidup manusia modern berubah, semakin menyeseuaikan dengan alam dan perkembangan teknologi di semua sektor, baik kesehatan, gaya hidup, pendidikan, ekonomi, dsb. Sehingga wajar jika pandemi COVID-19 bisa dilihat sebagai titik balik kehidupan modern abad 21.
The Great Reset diinisiasi oleh World Economic Forum (WEF) sebagai bentuk pemanfaatan peluang pasca pandemi. Wacana ini pertama dibahas dalam pertemuan tahunan ke-50 WEF pada Juni 2020. WEF memaknai kehidupan pasca pandemi COVID-19 sebagai momen yang unik, maka diperlukan ide-ide baru untuk mengubah kehidupan manusia. Pertanyaan utamanya adalah apa yang perlu direset? Hal-hal tersebut dirumuskan dalam empat landasan yang penting untuk perubahan, yakni pola pikir (mindset), metrik/perhitungan, insentif dan hubungan/koneksi.
Perubahan pertama berasal dari hal paling sederhana dalam diri, yakni pola pikir. WEF bertolak pada dua buku yang ditulis oleh Thomas Piketty 'Capital and Ideology' dan Rutger Bregmen 'Humankind'. Kedua buku ini beranggapan bahwa cara pandang kita terhadap dunia sebenarnya dibentuk. Artinya, jika cara pandang dan pola pikir dapat dibuat dan 'sudah pernah dibuat', maka kita dapat membentuk cara pandang yang baru atas dunia.
Kedua, membuat ulang suatu metrik, dalam hal ini berupa Gross Domestic Product (GDP). Sebuah pepatah yang diyakini WEF adalah:
Apa yang dapat diukur, maka dapat diatur.
WEF melihat bahwa mengukur melalui GDP adalah suatu kesalahan. Perhitungan menggunakan GDP dianggap gagal di banyak hal, karena GDP lebih menekankan pada kekayaan ketimbang pendistribusian. GDP tidak dapat melihat atau mengukur hal-hal di luar kekayaan, seperti kesejahteraan sosial, kerusakan lingkungan dan sosial, kesehatan mental dan fisik, serta inovasi. Oleh sebab itu, The Great Reset dianggap perlu untuk mengubah pandangan atas itu.
Ketiga, yaitu pengaturan mengenai insentif atau berupa investasi. UK’s Royal Society of Arts menunjukkan bahwa menggunakan nilai pemegang saham sebagai satu-satunya indikator kesuksesan perusahaan sebenarnya tidak berjalan baik. Banyak dari perusahaan tersebut tidak memberikan perhatian serius kepada dampak sosial dan lingkungan dari opresional perusahaannya. Penggunaan dana sosial bagi perusahaan cenderung merupakan 'agenda sampingan' dibanding utamanya, yakni menghasilkan uang sebanyak dan secepat mungkin. Sampai perusahaan betul-betul mengalokasikan dananya pada kebutuhan sosial-lingkungan yang telah ditetapkan, maka hal seperti ini akan terus berlanjut.
Keempat, membangun konektifitas yang sebenarnya. Teknologi digital saat pandemi telah memberikan kita hal baru, terutama saat masa-masa lockdown. Namun, digitalisasi tersebut membuat sebuah ilusi bagi kita tentang hubungan atau konektifitas. Hubungan yang tidak benar-benar terjadi dapat menimbulkan berbagai masalah. Sifat anonim dalam dunia digital dapat membentuk suatu kepribadian yang cenderung merasa superior, terjebak dalam gelembung kecil dirinya sendiri, serta beragam keisengan lainnya di internet yang merugikan masyarakat. Selain dalam hal hubungan dengan manusia, hubungan dengan alam juga terputus, sehingga perhatian kita terhadap lingkungan jadi mengecil.
Meski begitu, saat pandemi merebak, kita menyadari bahwa ternyata kita dapat mempercayai orang lain, bekerjasama dengan komunitas untuk menghadapi dampak pandemi, menolong tetangga kita dan secara sukarela membantu memberikan sumbangan bagi mereka yang membutuhkan. Hal ini menunjukan bahwa teknologi digital seharusnya tidak memisahkan kehidupan digital dengan hubungan sebenarnya yang dapat dibangun manusia. Teknlogi seharunya dapat mengembangkan kemampuan manusia untuk saling terhubung.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H