Lihat ke Halaman Asli

Mozes Adiguna Setiyono

Seorang keturunan Tionghoa tetapi hati tetap Merah Putih.

Biaya Kuliah Mahal, Salah Siapa?

Diperbarui: 5 Januari 2017   14:11

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Biaya pendidikan termasuk perguruan tinggi semakin mahal. Beberapa perguruan tinggi negeri telah mematok biaya kuliah yang mahal seolah-olah kuliah adalah barang mewah. Sudah ada banyak orang yang berpikir keras mencari solusi untuk mengatasi fenomena ini. Namun saya melalui artikel ini tidak akan membahas panjang lebar berbagai solusi untuk mengatasi masalah ini. Saya hanya akan membahas satu solusi saja yang sebenarnya sangat mudah dipraktekkan dan sudah ada tetapi sayangnya tidak diimplementasikan dengan tegas.

Menurut berita yang dilansir oleh Gatra tanggal 13 Juni 2002, peraturan dari Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, mahasiswa asing wajib membayar SPP sebesar US$ 1.000 per semester atau hampir setara dengan Rp 9 juta per semester (menurut kurs waktu itu) sedangkan mahasiswa lokal membayar sebesar Rp 600.000,00 per semester. Akan tetapi, pihak Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi mengaku memberikan kebebasan pada pihak universitas untuk mematok biaya kuliah bagi para mahasiswanya. Akibat dari kebijakan yang tidak tegas ini, para mahasiswa asal Timor Leste yang menempuh studi di beberapa universitas di Indonesia ternyata dikenai biaya kuliah yang sama dengan mahasiswa lokal. Satryo Soemantri Brodjonegoro, direktur jenderal pendidikan tinggi saat itu, menjelaskan bahwa beberapa universitas menerapkan biaya kuliah mahasiswa Timor Leste sama dengan mahasiswa lokal. Satryo Soemantri Brodjonegoro, direktur jenderal pendidikan tinggi saat itu, menjelaskan bahwa beberapa universitas menerapkan biaya kuliah mahasiswa Timor Leste sama dengan mahasiswa lokal karena masalah Timor Timur sarat dengan urusan politik.

Apakah mereka lupa bahwa politik memiliki pengaruh terhadap seluruh aspek kehidupan kita? Bahkan politik mampu memengaruhi hidup matinya kita. Lagipula menerapkan biaya kuliah yang lebih mahal kepada para mahasiswa Timor Leste adalah hal yang sudah sepantasnya karena mereka sudah bukan lagi warga negara Indonesia, kecuali para mahasiswa tersebut adalah orang-orang Timor Timur yang memilih menjadi WNI. Kebijakan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi ini sangat disayangkan oleh para pemimpin UNTAS (Uni Timor Aswa’in, organisasi yang menghimpun orang-orang Timor Timur yang memilih bergabung dengan Indonesia). Juru bicara UNTAS, Mario Viera, meradang karena para mahasiswa asal Timor Leste yang kuliah di berbagai perguruan tinggi di Indonesia berstatus warga negara asing tetapi mereka diperlakukan layaknya mahasiswa lokal. "Mereka dulu dikenal anti integrasi. Sekarang tanpa malu-malu menikmati berbagai fasilitas subsidi pendidikan pemerintah Indonesia," ujarnya.

Kalau memang pihak universitas tidak ingin mengambil profit terlalu banyak dari para mahasiswanya, setidaknya selisih uang dari SPP mahasiswa lokal dengan mahasiswa asing dapat dipakai untuk mensubsidisilang uang SPP mahasiswa lokal. Misalkan ada 5 mahasiswa asing di sebuah perguruan tinggi, berarti total ada Rp 42 juta ((9.000.000-600.000) x 5) uang yang dapat dipakai untuk mensubsidi mahasiswa-mahasiswa Indonesia yang kurang mampu. Misalkan ada 50 mahasiswa lokal yang tidak mampu, berarti Rp 42 juta tersebut dibagi menjadi 50 sehingga masing-masing mahasiswa memeroleh subsidi sebesar Rp 840.000,00 (melebihi biaya SPP mahasiswa lokal). Berarti 50 mahasiswa lokal tersebut sudah tidak perlu bayar uang SPP, dapat uang tambahan Rp 240.000,00 pula!

Kasus Lolita da Silva Amaral (Mahasiswa ITS Jurusan Arsitektur)

Ini adalah contoh kasus yang saya ambil dari artikel milik Gatra yang berjudul "Status Asing, Fasilitas Lokal" yang dilansir tanggal 13 Juni 2002. Lolita da Silva Amaral, putri pasangan Jeremias da Silva Amaral dan Julieta da Silva Amaral, menempuh kuliah di ITS (Institut Teknologi Sepuluh November), Surabaya. Ia pun memilih opsi 2 (lepas dari Indonesia) dalam jajak pendapat pada pertengahan 1999. Padahal ketika Timor Timur masih menjadi bagian Indonesia, Lolita dan ribuan mahasiswa se-provinsi lainnya yang kuliah di perantauan mendapat bantuan biaya dari pemerintah daerah Timor Timur. Inilah contoh air susu dibalas air tuba.

Lolita menjelang jajak pendapat mudik ke kampung halamannya di desa Kintal Bo'ot, Dili. Ia mengambil cuti selama tiga semester. Baru pada bulan Januari 2001, ia kembali lagi ke Surabaya. Padahal sekitar 30 rekannya di ITS tidak ada yang kembali dan memilih bergabung dengan Indonesia. Kini Lita, demikian ia biasa disapa, adalah satu-satunya mahasiswa berkewarganegaraan Timor Leste yang kuliah di ITS.

Begitu kembali, ia kaget ketika hendak membayar SPP. ITS meminta ongkos US$ 2.000 per tahun karena penggemar basket itu sudah berstatus sebagai warga negara asing. Padahal ketika ia masuk di jurusan arsitektur ITS pada 1995, SPP-nya cuma Rp 250.000,00 per semester atau Rp 500.000,00 per tahun, sama dengan mahasiswa yang lain. Itu saja sejak semester IV dibantu pemerintah daerah Timor Timur sebulan Rp 100.000,00. Karena merasa keberatan, Lita merengek minta keringanan biaya. Ia minta uang kuliahnya tidak dibedakan dengan WNI.

Pimpinan ITS akhirnya menjadi gamang. Perguruan tinggi di Sukolilo, Surabaya, itu bersedia memberi diskon besar-besaran. Syaratnya ringan : surat pernyataan tidak mampu. Lita langsung kegirangan. Penggemar nasi bebek ini lantas bergegas bikin surat pernyataan sebagai anak orang miskin. Selanjutnya ia cuma bayar Rp 2,5 juta per semester dari semestinya sekitar Rp 10 juta. Ongkos yang dikeluarkan Lita ini dua kali lipat dari SPP mahasiswa lokal.

SPP Rp 5 juta per tahun itu bagi Lita terasa sangat murah bahkan ia masih bisa mendapat "sisa hasil usaha". Selain mendapat pasokan dari orangtuanya, Lita juga memperoleh beasiswa dari Japan International Cooperation Agency, lembaga kerja sama internasional milik pemerintah Jepang. Sebulan Lita mendapat biaya hidup US$ 200 ditambah bantuan uang kuliah per semester US$ 300. Duit itu tentu berlimpah untuk hidup di Surabaya. Sewa kamar sebulan cuma Rp 110.000,00. Pergi ke kampus naik angkutan kota pulang pergi sehari Rp 6.000,00. Bukannya mengembalikan sisa uang beasiswa yang berkelimpahan itu, malah dipakai Lita untuk pelesiran ke Bali atau Jakarta. Masih ingat kasus perseteruan Ahok dengan KPAI? Saat itu Ahok menyebut para siswa pembajak bus sebagai "calon bajingan". Mungkin Lita ini adalah salah seorang generasi muda yang telah menjadi seorang "bajingan".

Jadi sebenarnya biaya kuliah mahal adalah kesalahan siapa? Baik pemerintah maupun perguruan tinggi sama-sama salah. Kesalahan pemerintah terletak pada ketidaktegasan untuk menindak universitas yang melakukan ketidakadilan dengan menyamakan biaya kuliah mahasiswa asing asal Timor Leste dengan mahasiswa Indonesia. Pemerintah perlu mengeluarkan kebijakan pelarangan pemberian beasiswa oleh universitas bagi para mahasiswa asing agar beasiswa tersebut sepenuhnya dinikmati oleh mahasiswa Indonesia sendiri. Kalau pemerintah Indonesia ingin memberikan beasiswa bagi mahasiswa asing, sebaiknya mereka diseleksi dan yang terbaik diikat kontrak kerja untuk pemerintah Indonesia selama beberapa tahun. Misalkan seorang mahasiswa asing memiliki kemampuan di bidang teknologi informasi, maka ia diberi beasiswa kuliah di jurusan teknik informatika asalkan setelah lulus harus bekerja untuk departemen perhubungan Indonesia.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline