Lihat ke Halaman Asli

Mengkaji dan Merenungi Budaya Keilmuan dan Teknologi

Diperbarui: 24 Juni 2015   10:57

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Daoed Joesoef dalam tulisan opini Kompas hari Sabtu (15/6/2013) mengingatkan dan mengajak pembaca untuk menemukan kembali misi Republik Indonesia didirikan. Mengutip ucapan Bung Hatta, Joeoef mengatakan bahwa misi republik ini didirikan adalah untuk membangun suatu negara-bangsa di mana setiap orang seharusnya bahagia.Sayangnya, menurut Joesoef, masih banyak masalah yang menghadang bangsa ini untuk mewujudkan cita-cita tersebut. Salah satunya adalah pengikisan esensi pendidikan nasional ketika banyak pelajar dan mahasiswa “dilatih menguasai ilmu pengetahuan, tetapi tak dididik untuk menghayati budaya keilmuan, menjadi well learned tetapi tidak well educated, manusia berkarakter”.Joesoef juga berpendapat bahwa universitas sepatutnya menjadi tempat pelatihan mahasiswa untuk merenungi budaya teknologi modern saat ini.

Kritik ini tepat, terutama mengingat di jaman sekarang ini tidak ada kehidupan manusia, bahkan bagi kelompok manusia terpencil sekalipun, yang tidak tersentuh oleh hasil karya keilmuan dan teknologi. Contohnya telepon genggam, yang dimiliki atau dapat dibeli oleh hampir setiap manusia. Tapi telepon genggam bukan hanya alat komunikasi saja, ia juga dipakai untuk menujukkan status sosial seseorang di masyarakat kita yang disparitas sosialnya semakin menganga lebar. Lantas bagaimana caranya mahasiswa Indonesia dapat mengkaji dan merenungi budaya keilmuan dan teknologi? Salah satu jawabannya adalah dengan kurikulum multidisipliner, terutama dengan memperkenalkan disiplin ilmu kajian sains dan teknologi (science and technology studies, STS).

Disiplin ilmu STS sebenarnya relatif baru, tetapi belakangan ini sedang berkembang pesat di beberapa negara di dunia. STS menggunakan metode dan teori ilmu-ilmu humaniora dan sosial untuk menganalisa perkembangan berbagai cabang iptek di suatu masyarakat. Mulai dikembangkan di Eropa dan Amerika Serikat di tahun 1980an, sekarang disiplin ini sudah ditawarkan di beberapa universitas di Asia dan Amerika Latin. Banyak penelitian STS yang menunjukkan bahwa perkembangan iptek tidak terlepas dari perkembangan suatu masyarakat sehingga untuk dapat mengkaji perkembangan sains atau teknologi dengan baik harus juga mengkaji perkembangan masyarakat secara bersamaan.

Keilmuan tidak terlepas dari budaya karena laku mengetahui sangat erat kaitannya dengan budaya dan nilai-nilai yang timbul di masyarakat pelaku kegiatan tersebut. Dengan kata lain, usaha untuk menjadi seorang ilmuwan atau insinyur sebenarnya sama dengan usaha untuk menjadi seorang pedagang, penulis, petani, atau politisi. Hanya nilai yang timbul di masyarakat yang membedakannya. Iptek sering dianggap lebih “tinggi” nilainya dibanding disiplin ilmu lainnya baik secara epistemologi maupun secara ekonomis. Sehingga banyak orang berlomba menjadi insinyur, dokter, dan ekonom karena dianggap pintar dan dapat cepat menghasilkan uang. Terlebih lagi banyak lulusan jurusan ini mendapat jabatan pemerintah.

Tidak mengherankan jika banyak pelajar Indonesia dapat dilatih dengan sangat baik dalam menguasai ilmu pengetahuan tetapi kurang dapat merenungi budaya keilmuan. Ambil contoh matematika.  Setiap guru yang mengajarkan kalkulus pasti mengajarkan turunan dan integral. Tapi tidak semua pendidik menanamkan minat matematika atau memberikan kesempatan pada murid untuk mengerjakan soal-soal matematika secara kreatif. Kalkulus jadinya hanya menjadi mata pelajaran “wajib” bagi yang ingin jadi insinyur dan ekonom. Walhasil kontribusi Indonesia di bidang matematika kurang menggema dan tidak berpengaruh di dunia.

Jadi jika saat ini di Indonesia pendidikan tinggi menjadi sangat ekonomis di mana banyak mahasiswa kuliah dan memilih suatu jurusan seakan-akan seperti menanam modal untuk mendapatkan keuntungan berlipat ganda di kemudian hari, itu tidak lain karena nilai-nilai seperti itulah yang berkembang dalam masyarakat kita. Sebenarnya pemikiran ini tidak sepenuhnya salah. Pendidikan memang suatu investasi dan konsep mencari untung tidak hanya harus dimiliki oleh para pedagang. Yang menjadi masalah adalah ketika nilai ini mendominasi hampir setiap sendi kehidupan suatu masyarakat. Di Indonesia kepemilikan harta berlimpah dan kehidupan foya-foya atau apa yang disebut “ekshibisionisme sosial” oleh Ignas Kleden (Kompas 25/6/213) dianggap suatu bentuk kesuksesan. Dan siapa yang tidak ingin sukses? Tidak perlu heran jika praktek korupsi masih sering dilakukan dan ditoleransi oleh banyak orang.

Oleh karena itu, untuk menguasai sains dan teknologi saat ini tidak cukup hanya dengan melatih mahasiswa mempelajari materi keilmuan terkait. Perlu juga mempelajari ilmu-ilmu lainnya sehingga cakrawala pengetahuan si mahasiswa menjadi luas. Penyilangan ilmu pun dapat menstimulasi pemikiran-pemikiran kreatif. Biasanya, mata kuliah-mata kuliah humanoria dan ilmu sosial dapat membantu mahasiswa berefleksi mengenai jurusan sains dan teknik yang mereka ambil. Sebaliknya, mahasiswa jurusan humaniora dan ilmu sosial juga perlu belajar materi ilmu sains dan teknologi sehingga mereka dapat mengerti cara pandang ilmuwan dan insinyur. Di negara yang budaya teknologinya lebih terkembang, calon dokter tidak hanya belajar ilmu biologi dan kedokteran tetapi juga ilmu-ilmu lainnya. Di Universitas Cornell misalnya, ada jurusan Biologi dan Masyarakat (Biology and Society) yang membekali para calon dokter bukan saja dengan ilmu-ilmu kedokteran tetapi juga dibekali dengan ilmu kemasyarakatan. Sehingga ada satu mata kuliah wajib, etika kedokteran, yang mengajari mahasiswa mengenai masalah-masalah etika dari sudut pandang filsafat, sosiologi, sejarah, dan antropologi.

Seorang ilmuwan STS kondang Langdon Winner pernah menawarkan konsep technological somanambulism yang menggambarkan sikap banyak orang terhadap produk-produk teknologi di sekitar mereka saat ini. Seperti layaknya orang yang berjalan sambil tidur, banyak orang Indonesia yang menguasai materi iptek tapi kurang menghayati budaya keilmuan. Banyak yang mampu membeli dan lihai menggunakan beragam jenis teknologi tapi tidak dapat merenungi masyarakat seperti apa yang terbentuk karenanya. Yang lebih disayangkan banyak yang tidak tahu bagaimana mengembangkan iptek sesuai dengan nilai-nilai luhur bangsa dan untuk mencapai tujuan nasional.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline