Lihat ke Halaman Asli

Antara Pileg dan Pelatnas

Diperbarui: 23 Juni 2015   23:24

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Di tengah ramainya berita hasil pemilu legislatif (pileg) dan manuver-manuver politik para kandidat calon presiden berbagai partai, hari Minggu lalu (13/4) saya membaca berita lain yang menyegarkan.Simon Santoso, tunggal putra Indonesia yang maju ke final kejuaraan Singapore Open Series berhasil menundukkan juara satu dunia pebulutangkis Malaysia Lee Chong Wei di Singapura.

Kalau berita pileg banyak diangkat, diulas, dan dibahas oleh banyak media, pengamat politik, ahli-ahli politik baik luar dan dalam negeri, berita kemenangan Simon Santoso hanya ramai satu atau dua hari. Kenapa begitu? Ini karena berita kemenangan Simon merupakan “berita hari itu”  (news of the day), berita hangat yang diangkat saat kejadian. Setelah itu kemungkinan besar berita ini akan tenggelam karena akan ada berita menarik lainnya yang akan muncul besok dan lusa. Hal ini tidak sama dengan pileg yang akan diliput terus menerus. Ini karena pileg akan bermuara ke pemilihan presiden bulan Juli nanti yang akan menentukan RI-1 dan masa depan republik ini lima tahun ke depan.

Walau begitu, sebenarnya ada hal yang menarik yang sangat perlu diangkat mengenai kemenangan Simon atas Lee Chong.  Simon lama dilatih di Pemusatan Latihan (Pelatnas) PBSI di Cipayung.  Dua belas tahun lamanya Simon dilatih di sana sampai awal tahun ini dia terpaksa didepak dari Pelatnas karena gagal mencapai target kejuaraan di beberapa turnamen sebelumnya. Dari lamanya Simon ditempa di sana jelas Pelatnas punya andil dalam pelatihan Simon sebagai atlet bulutangkis. Pelatnas juga sudah banyak mencetak pebulutangkis berpretasi unggul lainnya, termasuk para peraih medali emas untuk Indonesia di kejuaraan pertama bulutangkis di Olimpiade 1992 dan Taufik Hidayat, mantan juara dunia, Olimpiade, dan kejuaraan Indonesian Open selama enam kali berturut-turut. Kabarnya Taufik juga pernah ditendang dari Pelatnas.

Untuk suatu tempat penempaan atlit cabang olah raga yang cukup sukses, menurut saya Pelatnas merupakan suatu tempat yang menarik untuk diketahui. Saya langsung teringat bukunya Daniel Coyle, The Talent Code (terbit tahun 2009) yang mengulas mengenai beberapa tempat pelatihan di dunia yang telah mencetak talenta-talenta yang mengagumkan di bidang olah raga dan musik.

Ketika saya penasaran ingin membaca tentang Pelatnas Cipayung lebih lanjut seperti struktur organisasinya, metoda pelatihan yang diberikan, siapa saja para pelatihnya, bagaimana keahlian para atlet bulutangkis ini diasah, dsb, sayangnya saya tidak menemukan satu buku pun mengenai ini. Ketika saya mencari di katalog online perpustakaan Universitas Cornell, salah satu perpustakaan yang memiliki koleksi lengkap berbagai buku terbitan negara-negara Asia Tenggara, dengan kata kunci “pelatnas” tidak ada satu buku pun yang muncul.  Ketika saya ganti kata kunci “bulu tangkis,” muncul beberapa buku mengenai

perbulutangkisan Indonesia yang terbit di tahun 1960an dan 1980an.Untuk cabang olah raga di mana para atlet Indonesia cukup berprestasi di pentas dunia kenapa sedikit sekali buku mengenai ini?

Saya melihat ada dua alasan penting kenapa kajian mengenai Pelatnas Cipayung tidak ada atau buku mengenai bulu tangkis di Indonesia sangat sedikit. Pertama, tidak banyak peneliti Indonesia (baik akademis maupun jurnalis) yang tertarik mengkaji berbagai aspek kemasyarakatan di Indonesia selain mengenai hal politik atau ekonomi. Seakan-akan Indonesia pantas disorot dan dikaji hanya mengenai perpolitikan dan perekonomiannya saja. Padahal ada banyak bidang lain tidak kalah penting untuk ditelaah supaya bangsa ini paham akan jati dirinya sendiri. Kelebihan dan kekurangan Pelatnas, jika dikaji secara mendalam, mungkin bisa mengilhami kita untuk membawa aspek yang paling baik mengenai Pelatnas ke bidang yang lain.

Kedua, minat masyarakat kita yang peduli atau tertarik mengenai hal ini minim.  Tengok saja para calon legislatif yang ikut dalam pileg tahun ini. Yang berpartisipasi bukan saja para politisi profesional tapi juga mantan model, artis sinetron, penyanyi dangdut, pebisnis, akademisi, dan banyak lagi. Ini bukan berarti bahwa saya berpendapat mereka tidak boleh ikut pemilu. Tapi perlu kita telaah secara kritis bahwa beberapa caleg tenar ikut pileg adalah karena diundang petinggi partai supaya dapat mendongkrak perolehan suara bagi partai mereka.  Ranah politik jadinya sepertinya hanya satu-satunya tempat untuk berkiprah dalam berbangsa dan bertanah air di negara ini. Sorotan media yang hampir tiada henti seperti menegaskan hal ini. Sehingga “terjun ke politik” menjadi aspirasi kebanyakan orang Indonesia. Menjadi anggota dewan dan kepala daerah menjadi impian banyak orang. Yang paling ambisius (dan biasanya berduit) bercita-cita jadi presiden. Padahal untuk menjadi bangsa yang besar, Indonesia juga butuh orang-orang unggul sebagai atlet, guru, penulis, insinyur, arsitek, pelukis, penyair, peneliti, pengusaha, penerbang, pelaut, dan banyak profesi lainnya.

Ada baiknya di tengah ramainya hiruk pikuk pileg dan hasilnya kita merenung sejenak memikirkan ke arah mana bangsa ini akan bergerak ke depannya. Memilih caleg atau menyoblos partai pilihan serta memilih presiden memang penting. Tapi tidak kalah penting juga menyadari bahwa untuk menjadi negara yang maju, bermartabat, demokratis, adil dan makmur, Indonesia bukan hanya perlu caleg, kepala daerah, dan presiden yang handal, tapi juga melatih dan mencetak banyak tenaga-tenaga profesional ulung di berbagai bidang dan menghargai usaha dan kiprah mereka.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline