Berita divestasi Freeport cukup meramaikan media massa terlebih media sosial. Ada yang menyambut dengan gembira, biasa saja, bahkan juga yang antipati dan apatis. Bagi saya semua itu wajar-wajar saja, maklum perubahan ini adalah perubahan yang membutuhkan proses panjang dan lama untuk melihat dampak atau hasilnya.
Bagi orang Indonesia hasil di depan mata itu lebih penting dari sekedar proses yang tak terlihat. Terlepas apakah proses itu dijalankan dengan baik dan benar tetap saja mayoritas orang Indonesia masih menganut mazhab "hasil" dan "nyata". Sementara perubahan "jatah kepemilikan" Freeport itu bukan sebuah perubahan yang seketika menjadi hasil dan seketika terlihat oleh mata.
Bagi saya - divestasi Freeport jelas merupakan perubahan penting dalam dunia pertambangan Indonesia setelah sekian puluh tahun. Namun publik dan media selayaknya juga tidak terbuai dengan perubahan barusan karena tugas pekerjaan rumah terbesar pertambangan di Indonesia itu bukan hanya di Freeport. Ada banyak sekali yang masih membutuhkan perhatian publik, konsistensi, dan ketegasan pemerintah. Salah satu yang nyaris terabaikan adalah kebijakan relaksasi ekspor bahan mentah.
Misalnya dari beberapa yang saya baca, program hilirisasi bahan bauksit dan nikel telah membawa dampak positif terhadap ekonomi, dibandingkan dengan hanya sekadar mengekspor mineral mentah. Kondisi ini jelas harus tetap dijaga konsistensinya jangan sampai kendor di tengah jalan dan akhirnya hanya jadi kebijakan "hore-hore" semata.
Program hilirisasi secara efektif mampu memajukan perkembangan industri smelter, industri turunan, juga meningkatkan pendapatan negara, dan menciptakan kesempatan kerja di sektor hulu dan hilir pertambangan. Akan tetapi kebijakan relaksasi ekspor yang terlalu lama dapat mengakibatkan merosotnya harga bahan mentah dan menimbulkan dampak buruk terhadap perkembangan industri smelter dalam negeri.
Pemerintah harus jeli melihat manfaat jangka panjang dari hasil smelter yang keuntungannya langsung dan nyata dapat diserap dengan baik di dalam negeri. Saat ini, kita belum bisa menghitung kerugian akibat dari kebijakan relaksasi ekspor, hal ini disebabkan karena masih ada beberapa smelter yang masih aktif beroperasi. Konon katanya akibat kebijakan relaksasi ekspor yang terlalu lama, maka saat ini hampir seluruh smelter mengalami kerugian besar.
Pemerintah harus berani mngambil sikap yang menyeluruh dalam membangun kondisi industri pertambangan yang kondusif. Bayangkan jika divestasi pada Freeport kemarin diiringi juga dengan langkah-langkah kebijakan pemerintah untuk mencabut kebijakan relaksasi ekspor, bisa jadi akan disambut dengan makin giatnya pelaku industri tambang dalam membangun dan menajalankan smelter-nya. Jika itu terjadi maka akan jelas dan nyata bagi masyarakat Indonesia untuk melihat peningkatan pendapatan negara akibat dari tidak adanya lagi pengiriman ekspor bahan mentah ke negara lain. Mungkinkah? Ya.. kita tunggu saja...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H