Disclaimer : Ini bukan artikel tentang perkawinan ya :D
Jadi begini, sudah kali kebeberapa saya mendapatkan kesempatan bekerja dalam sebuah proyek yang berpartner dengan perusahaan asing. Dalam beberapa proyek berskala besar tersebut saya selalu mendapatkan banyak sekali - sudah pasti relasi baru, juga pelajaran baru, hingga pengalaman baru. Selain itu saya pun mendapatkan juga pembelajaran sikap yang sangat berharga yaitu : sikap berkomitmen.
Komitmen, merupakan hal penting dalam sebuah kerja, karya, dan kerjasama. Dari komitmen itu kita banyak sekali belajar yang namanya perilaku tanggung jawab, janji para pria gentle (maaf saya gagal menemukan istilah yang pas untuk "gentlemen agreement"), juga sikap integritas sebagai bentuk pride atau harga diri. Sikap komitmen ini lebih mengarah pada sikap seseorang, walaupun tidak jarang juga dikaitkan sebagai langkah sikap perusahaan, kelompok, atau lembaga.
Saya ambil contoh, pada kasus pertambangan di Indonesia (saya pilih ini karena jarang dibahas). Yaitu bagaimana saat ini Presiden Jokowi sedang mengalami "sorotan serius" atas langkah relaksasi ekspor bahan mentah atas barang tambang. Seperti yang sudah kita tahu sejak lama, pemerintah sudah yakin dan sepakat bahwa ekspor bahan mentah tambang itu tidak menguntungkan negara, maka dikeluarkanlah UU ESDM yang mewajibkan para perusahaan tambang untuk membangun smelter (tempat mengolah bahan mentah tambang menjadi bahan setengah jadi). Namun karena satu dan lain hal akhirnya pemeritah melakukan sebuah "kelonggaran" atas UU tersebut yaitu untuk sementara waktu membolehkan beberapa perusahaan tambang untuk melakukan ekspor bahan mentah sampai tengat waktu terbatas, yang kita kenal dengan sebutan relaksasi ekspor.
Dalam persoalan tadi di atas, sosok yang ditunggu sikap komitmen dan konsistenya adalah Presiden kita Pak Jokowi. Walaupun saya tidak tahu siapa yang mustinya ditodong komitmennya, apakah Kementrian ESDM atau Pak Mentrinya. Namun bagi publik dan bagi pelaku bisnis industri pertambangan, Pak Jokowi lah yang menjadi pihak yang diharapkan mampu menunjukkan sikap komitmennya. Mampukah Pak Jokowi? Sanggupkah? Atau jangan-jangan bukan Pak Jokowi yang seharusnya mengambil sikap atau keputusan yang sarat dengan penilaian "tidak konsisten" tadi? Anyway...
Kembali ke pengalaman saya di awal, memang tidak sedikit contoh-contoh dalam menjalani pekerjaan itu bisa sebegitu mudah dalam menjaga yang namanya komitmen. Tidak berkomitmen itu bukan berarti tidak bertanggungjawab atau tidak beres melakukan pekerjaan. Tidak berkomitmen itu memang sulit diukur dengan hanya dilihat dari apa yang dikerjakan atau dari segala sikap mengambil keputusannya saja.
Sikap berkomitmen - menurut saya dapat membawa seseorang pada peningkatan pendewasaan dalam pekerjaan dan jenjang karir. Apakah saya sendiri sudah berkomitmen? Aduh... rasanya sulit mengukur itu karena menurut saya yang ideal mengukur tingkat komitmen seseorang itu adalah mereka yang sedang bekerjasama dengan orang atau pihak terkait. Seperti contoh tadi, kalau untuk persoalan pertambangan, smelter, dan relaksasi ekspor, saya pikir yang bisa menilai komitmen Pak Jokowi adalah mereka-mereka para pelaku usaha pertambangan bukan?
Semoga pelajaran apapun yang bisa kita dapat - baik dari pekerjaan maupun persoalan pertambangan tadi, semuanya mampu memberikan kita pelajaran berharga dalam melatih kita untuk belajar berkomitmen. Iya kan?
Semoga...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H