[caption caption="(GettyImages)"][/caption]Perseteruan opini atas LGBT (Lesbian, Gay, Bisexual, Trans-gender) nampaknya belum surut. Mulai dari opini publik, hingga ulama, tokoh masyarakat, pejabat, dan kini produk minuman. Semua nampaknya tidak akan berujung pada sebuah kesepakatan. Apa yang salah ya? Karena penasaran saya mencoba melihatnya dalam berapa konteks, apa itu?
Suatu ketika saat saya menonton film James Bond di bioskop, saya baru sadar kalau di antara penonton itu ada orang tua yang mengajak anaknya yang masih kecil. Saya pun heran koq anak TK diajak / diperbolehkan masuk untuk nonton film kategori dewasa? Betul saja, pas ada adegan James Bond mulai bermesraan, si ibu langsung bilang "ayo! tutup mata!".
Kejadian lain adalah saat saya berada di sebuah cafe di Bali, entah bagaimana ada 3 orang ibu-ibu berkerudung (terlihat seperti ibu-ibu pejabat daerah) yang mungkin habis menghadiri sebuah acara. Mereka bertiga cekikikan sambil berbisik-bisik merespon sepasang bule yang sedang asik berciuman di pojok kafe. Pas saya lihat ternyata memang keduanya berciuman mesra saja, bukan ciuman penuh nafsu macam di film-film James Bond tadi. Saya gak habis pikir apa jadinya jika ibu-ibu tadi berada di Paris ya? yang hampir tiap 2 meter warganya berciuman yang tidak cuma di bibir tapi juga di lidah?
Kata kunci dari contoh kejadian tadi di atas adalah tabu (taboo), atau hal yang tidak lumrah / tidak pantas dilakukan di sebuah kelompok masyarakat. Orang Indonesia sering menyebutnya dengan kata pamali. Bedanya tabu dengan pamali, pamali jika dilakukan seolah akan ada akibat atau dampak yang menimpa si pelaku. Hal tabu di setiap kelompok masyarakat itu beda-beda. Makan dengan tangan kiri pun masih tabu dilakukan orang Indonesia bukan?
Bercinta atau bermesraan di tempat umum atau terbuka ternyata masih menjadi hal tabu untuk hampir banyak budaya di Indonesia. Kalaupun saat ini mulai terasa lumrah namun tidak sedikit yang masih merasa jengah. Kembali ke LGBT, suka tidak suka perilaku ini masih tergolong tabu di banyak masyarakat Indonesia. Tabu bukan berarti dilarang, tapi lebih kepada ketidakpantasan secara nilai sosial saja. Berciuman itu biasa dalam kehidupan masyarakat Barat, tapi tidak di sini. Cipika-cipiki antar pria biasa dilakukan di Timur-Tengah tapi tidak sedikit anak-anak muda Indonesia yang ogah melakukannya. Yang lucunya, kini nilai pertemanan akrab antar pria pun dengan mudah dikonotasikan gay oleh kaum dewasa. Seperti Frodo dan Sam di Lord of The Rings? bahkan Bert dan Ernie di Sesame Street!
Nah, di sini saya mencoba membedakan LGBT dalam tiga konteks besar, yaitu: konteks kehidupan sosial, konteks kehidupan bernegara, dan konteks kehidupan beragama.
1. Konteks kehidupan beragama; konteks ini saya bahas duluan karena sudah jelas klausulnya. Sejauh yang saya tahu semua agama melarang kehidupan a la LGBT, entah jika ada agama atau kepercayaan lain yang saya tidak paham. Pembahasan dalam konteks agama adalah fix dalam artian tidak perlu diperdebatkan. Fair?
2. Konteks kehidupan bernegara; konteks ini adalah bagaimana kita hidup dalam aturan negara sebagai warga negara. Ada UU, peraturan daerah, keppres, pergub, dst. Konteks ini tidak bisa disamakan dengan aturan kehidupan beragama, kenapa? Karena masyarakat kita berada dalam keyakinan agama yang berbeda-beda. Tentang LGBT, kita bisa cari UU, perda, keppres, dst yang berkaitan dengan LGBT. Mungkin ada di UU perkawinan? Jika kasus trans-gender munkin ada di Peraturan Kementrian Kesehatan?
3. Konteks kehidupan sosial; ini yang paling terasa dalam keseharian kita, konteks sosial dengan kata lain adalah budaya. Beda daerah akan beda perilaku sosialnya dan menghasilkan budaya yang berbeda-beda juga. Perbedaan ini yang harus disikapi dengan bijaksana. Tingkatan sosial masyarakat jelas memiliki strata, strata pendidikan, strata ekonomi, strata wawasan, bahkan strata pergaulan (sosialita). Bagi saya, LGBT idealnya dibahas di konteks sosial ini.
Rasa-rasanya saya sudah mengenal kaum LGBT itu sejak lama sekali dan tidak ada masalah besar dalam kesehariannya. Dalam konteks sosial inilah muncul istilah tabu dan pamali, yaitu disaat pasangan LGB secara terbuka memperlihatkan hubungannya sebagai pasangan layaknya suami isteri. Bagi anak-anak yang polos tentu janggal dan jengah melihat perilaku tersebut, tapi bagi saya pribadi sih biasa saja, karena selain lebih dewasa saya punya banyak teman dan rekan kerja dari kelompok homoseksual, baik itu gay atau lesbian. Tapi faktanya bagi sebagian besar masyarakat Indonesia hal ini tabu atau wagu - dalam bahasa Jawa.
Dari ketiga konteks di atas, saya berfikir disitulah kita harusnya bisa melihat konteks LGBT ini sebagai porsinya. Kita tidak bisa serta-merta mencampurkan ke semua konteks secara bersamaan, karena kita pun harus bijaksana bahwa tidak semua hal harus ditabrakkan antara konteks sosial dengan konteks negara atau agama. Bagi mereka yang memilih menilai LGBT itu hanya dari konteks agama ya silakan, tapi juga jangan memaksakan mereka yang toleran melihat ini dari konteks sosial. Begitu pun saya rasa kita harus bijaksana merespon pejabat negara yang tidak setuju dengan LGBT karena memang UU di negara kita berbeda dengan UU di negara lain yang sudah memasukan status LGBT ini ke dalam UU negaranya.