Lihat ke Halaman Asli

Motulz Anto

TERVERIFIKASI

Creative advisor

Mencari Rumus Tuhan

Diperbarui: 25 Juni 2015   23:12

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Membahas Tuhan dalam sains sudah merupakan pembahasan dan perdebatan panjang yang hingga kini tidak pernah ada titik temunya. Pihak yang berseteru adalah ilmuwan dan para ahli agama (teologi). Belakangan seorang pakar fisikawan Stephen Hawking mengeluarkan buku berjudul "Grand Design". Buku tersebut spontan memancing keributan terutama di sisi para ahli agama. Hal ini disebabkan karena penjelasan dari buku tersebut yang menjelaskan bahwa alam semesta ini tercipta hampir tanpa membutuhkan keterlibatan Tuhan. Sains membuktikan hal yang demikian sementara para ahli agama dan teologi tetap pada keyakinannya bahwa semesta dan kehidupan ini jelas ciptaan Tuhan, akan tetapi mereka tidak bisa membuktikan secara bukti-bukti seperti yang dibutuhkan oleh para ilmuwan. Sampai kapan ini akan tetap berada pada jurang yang berseberangan? Mungkinkah perseteruan ini terjawab pada satu titik temu yang memuaskan kedua belah pihak? Saya tidak akan mengajak pembaca ikut-ikutan untuk mengambil posisi pihak kiri atau kanan. Yang akan saya coba paparkan dalam tulisan disini lebih kepada cerita-cerita dan fakta yang menjelaskan perjalanan manusia dalam proses pencaharian maha pertanyaannya. Saya janji bahwa ini bukan tulisan tentang agama dan bukan artikel sains. Sains = Fakta = Bukti Dalam sains, fakta merupakan hal penting . Dalam perjalanannya mencari fakta dan bukti tentu melalui proses panjang lewat berbagai hipotesa, teori, eksperimen, dan rumus-rumus. Ketika sebuah fenomena alam berhasil di rumuskan maka sejak itulah sains menjadikan rumus sebagai sebuah kebenaran nyata. Untuk yang belum berhasil dirumuskan, maka fenomena tersebut masih dalam proses pencaharian, sampai kapan? Mungkin sampai kiamat Budaya fakta, data, dan bukti ini merupakan warisan dari bangsa barat, yaitu Yunani. Dimana budaya mereka sangat kental dengan budaya filsafat dan teori. Mereka punya banyak ahli pikir (pemikir) yang sejak dahulu terlahir sebagai para ahli teori-teori yang terjadi di kehidupan manusia. Teori-teori itu dilontarkan untuk diuji hingga sekian puluh tahun baru bisa dibuktikan lewat rumus-rumus. Satu teori yang sahih saat itu jelas bisa terbantahkan oleh teori baru yang akan muncul sekian lama sejak teori awal dicetuskan. Ini hal yang lumrah dalam sains. Satu teori membantah teori lainnya demi melengkapi "soal" yang lebih besar, yaitu pertanyaan-pertanyaan fenomena alam. Butuh Bukti Piramid di Mesir, sebuah artefak kuno yang masih bisa dilihat saat ini saja, belum berhasil dijawab oleh para arkeolog dan sains bagaimana cara membuatnya. Teori dan hipotesa tentu banyak mencoba menjelaskan itu akan tetapi tetap masih menjadi sebuah teori atau dugaan karena manusia butuh fakta yang lebih otentik yang bisa menjelaskan cara membuat Piramid. Dari teori-teori yang mencoba menjelaskan proses pembuatan Piramid, banyak yang melihatnya dari kacamata manusia saat ini, yaitu dengan ukuran badan saat ini dan alat kerja saat ini. Bahwa untuk memindahkan batu-batu besar itu akan selalu membutuhkan alat pemindah. Yang paling masuk akal adalah berbentuk roda agar baru mudah ditarik. Lalu musti ditarik oleh apa? Oleh manusia.. berapa banyak manusia? Dan seterusnya. Mari kita mencoba berandai-andai, bayangkan jika ternyata Piramid itu dibuat oleh manusia yang besarnya setinggi Piramid? Tentu teori menggelindingkan bongkahan batu besar tadi dengan konsep roda menjadi tidak valid. Sayangnya andai-andai tadi menjadi tidak valid karena sangat tidak bisa diterima oleh sains. Kecuali para arkeolog menemukan fosil atau tulang belulang manusia zaman Piramid yang tingginya sebesar Piramid. Maka sejak itu musnahlah teori memindahkan bongkahan batu dengan roda. Dalam prosesnya manusia sering membatasi cara pandang dalam mencari sebuah jawaban dari kehidupan. Ini semua akibat cara pandang barat tadi. Sementara bagi orang Timur, bukti dan fakta seringkali bukan menjadi hal penting dalam menjawab fenomena alam dan kehidupan. Kita ambil contoh kebiasaan bangsa China dalam menjelaskan Feng Shui. Feng Shui sudah ada dan dipakai dalam kehidupan bangsa China sudah lama sekali. Ilmunya terjaga secara turun temurun tanpa banyak pertanyaan-pertanyaan dari generasi-generasi baru bangsa China. Yang mereka lakukan hanyalah menerapkan ajaran FengShui tadi buat kehidupan mereka tanpa butuh rasional dari konsep FengShui, jika tidak maka berakibat kehidupan mereka akan susah. Contoh lain adalah yang terjadi di kultur Indonesia, santet atau ilmu susuk misalnya. Santet dan ilmu susuk sudah ada di Indonesia sejak lama dan masih terjadi hingga saat ini. Keberadaan santet dan ilmu susuk pun gagal dibuktikan secara sains. Beberapa teori dicoba untuk menjelaskan kedua fenomena ajaib ini namun tetap belum bisa menjawab secara sahih rumus dari santet dan ilmu susuk. Secara sains adalah hal yang tidak mungkin memasukan benda logam (emas misalnya) ke dalam tubuh manusia tanpa melakukan pembedahan. Namun bagi santet dan ilmu susuk hal tersebut terjadi. Yang lebih hebatnya, untuk susuk perpindahan benda logam ke dalam tubuh dilakukan secara jarak dekat sementara untuk santet bisa dilakukan dalam jarak jauh. Apakah para pengguna santet dan susuk tadi butuh rasional sains untuk meyakinkan bahwa santet atau susuk mereka berhasil? Tidak! Sebab - Akibat Dari kedua contoh tadi, jelas sudah bisa membuktikan bahwa ada perbedaan yang besar antara cara memandang ilmu dari dunia Barat dan Timur. Bangsa Barat nampaknya membutuhkan alasan atau SEBAB dari sebuah fenomena, sementara bangsa Timur lebih membutuhkan AKIBAT untuk meyakini hadirnya sebuah fenomena. Bagi orang Timur apapaun sebabnya, bagaimanapun caranya, mereka lebih butuh AKIBAT atau HASIL. Jika hasilnya ada, maka ia yakini itu sebagai kebenaran. Kembali ke topik tulisan ini, bagaimana kita musti menyikapi kontroversi sains dengan Tuhan? Bagi saya, sebagai orang Timur saya lebih percaya kepada AKIBAT tadi. Alam semesta (universe) dan kehidupannya ini ada dan bekerja sekian milyar tahun. Berjalan dalam bentuk pola yang beraturan dan acak sehingga menjadi kombinasi dan konfigurasi yang maha teratur. Semua ini adalah NYATA dan hadir sebagai sebuah AKIBAT dari yang maha awal. Sampai situ, saya sudah berada dalam sebuah keyakinan adanya Sang Maha Awal. Pertanyaan SEBAB dari sang maha awal ini, saya yakin akan terjawab, kapan? Kita tunggu saja.. Toh kita sadar bahwa otak dan kepandaian manusia itu sangat terbatas dan kecil sekali jika dibanding besaran dan luasnya universe ini. Terlalu kecil, terlalu sempit, dan terlalu sedikit untuk mencari jawaban yang MAHA BESAR dan MAHA LUAS ini hanya dalam waktu dekat. Bagi saya, saya tidak mau menghabiskan waktu hidup hanya berkutat untuk mencari jawaban atas pertanyaan dari asal-mula atau SEBAB dari adanya kehidupan. Saya lebih memilih untuk menjalani, menikmati, dan mensyukuri kehidupan atas AKIBAT dari seluruh fenomena alam yang super terstruktur ini. Bumi, hanyalah bagian kecil dari alam semesta ini, usiapun sudah milyar tahun, sementara siapa pun manusia yang paling hebat di muka bumi ini, mungkin usianya hanya 100 tahun, OK lah 200 tahun. Tetap tidak berarti banyak jika dibandingkan dengan besaran bumi, apalagi alam semesta ini. Oh iya, sesuai janji saya.. saya tidak melibatkan iman, agama, dan Tuhan dalam tulisan ini. Saya tidak mau terjebak sebagai topik agama. Begitu pun saya tidak mau membahas tulisan ini sebagai artikel sains. Ilustrasi: motulz.blogspot.com

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline