Tak lama berselang tak lama dinanti, tadi Go-Jek dilarang sekarang Go-Jek beroperasi. Luar biasa. Sebuah fenomena yang cukup dramatis, antara keberlangsungan Go-Jek dengan Pembuat Kebijakan.
Kronologisnya, Surat Larangan Operasional Go-Jek dan sejenisnya ditandatangani Menteri Perhubungan per 9 November 2015 dan mulai masif menjadi topik pemberitaan media pada 17 dan 18 Desember 2015. Tidak lama berselang, 18 Desember 2015 pagi, pemberitaan berganti tentang dukungan Presiden Jokowi dan pencabutan larangan oleh Menteri Perhubungan. Go-Jek pun bisa kembali beroperasi, atau lebih tepatnya beroperasi seperti biasa karena mungkin efek dan dampak larangan pun sama sekali belum terlaksana.
[caption caption="Twitter Presiden Jokowi"][/caption]
[caption caption="Pernyataan dari Go-Jek"]
[/caption]
Sebuah gambaran dinamika yang sangat dinamis dan cukup cepat sekali. Apa yang sebenarnya terjadi? Kekuatan dan pengaruh Go-Jek? Kekuatan opini masyarakat? Atau memang suatu gambaran disharmoni dalam pembuatan kebijakan? Atau dalam sudut “negatif” pandang yang lain, sebuah upaya pengalihan isu yang TIDAK berhasil? hehehe…
Fenomena ini tentunya menjadi catatan dan evaluasi tersendiri bagi Pembuat Kebijakan. Ada berbagai kemungkinan, menghadapi fenomena Go-Jek dengan “dukungan” kekuatan massa yang besar karena manfaat dan efek domino sosialnya, menjadikan risiko larangan operasional akan menghadapi tekanan penolakan yang cukup besar dan tentu ujungnya adalah larangan tersebut tidak digubris. Sehingga, ketimbang menjadi aturan yang tidak bisa mengikat maka lebih baik dicabut. Terlebih, ada “dukungan” Presiden Jokowi dalam mengevaluasi aturan tersebut. Atau kemungkinan terbaik, memang untuk dan demi kepentingan masyarakat sehingga aturan tersebut akhirnya ditangguhkan.
Inilah yang menjadi masalahnya. Mekanisme, dinamika dan perubahan status dalam sebuah proses kebijakan antara Presiden dengan Menterinya. Sudah ada beberapa kejadian yang menunjukkan proses sinkron di Eksekutif yang tidak cukup baik. Misalnya masalah Rizal Ramli dan Wapres terkait program listrik 35ribu MW. Dalam kasus Menteri Perhubungan ini, tidak ada yang meragukan kemampuan dan kapabilitas Pak Jonan dalam mengelola masalah transportasi. Track record dan prestasinya jelas, terutama juga dalam konteks kereta api, sebagai buktinya. Namun mungkin memang perlu disertai dengan kebijaksanaan yang lebih. Dengan wewenang yang lebih besar, tentu juga dibutuhkan kebijaksanaan yang lebih besar pula.
Terlepas dari itu, mungkin mekanisme “sinkronisasi” juga perlu diperbaiki. Tidak cukup elok jika dalam setiap membuat aturan atau kebijakan seorang Menteri sedikit-sedikit harus melapor pada Presiden, namun artinya, perlu pertimbangan yang cukup matang dan pemahaman bersama terhadap visi yang telah ditetapkan. Sehingga kebijakan-kebijakan yang tercipta akan saling didukung dan dikuatkan, bukan menjadi skenario drama. Responsif bukan reaktif.
Jadi pertanyaannya sekarang? Go-Jek sebagai BUKAN angkutan umum, bagaimana kelanjutannya? Jelas terdapat ketentuan dan kebijakan yang telah mengatur tentang angkutan umum. Apakah memang kebijakannya yang perlu diubah mengikuti dengan perkembangan kondisi dan kebutuhan yang terjadi, atau memang pada masanya nanti Go-Jek dan sejenisnya yang akan dihilangkan
Berarti pandangan-pandangan termasuk pertimbangan keamanan dan lain sebagainya terkait keberadaan angkutan umum jelas tidak berlaku lagi dan mau tidak mau saat ini tetap dibiarkan seperti itu saja seperti sebelumnya. Dilematis, melanggengkan tatanan aturan yang jelas tidak aplikatif, atau merusak tatanan sosial baru yang terbentuk. Terkadang memang keputusan harus diambil dan tidak ada satupun keputusan yang dapat memuaskan semua pihak.
Hidup itu tidak lepas dari adanya sebuah pilihan. Namun terkadang pilihan itu kita ciptakan sendiri. Jadi, ciptakan pilihan yang terbaik untuk dipilih dan menghasilkan yang terbaik.