Lihat ke Halaman Asli

Ibukota yang Durhaka

Diperbarui: 26 Juni 2015   00:45

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Bicara ibukota Indonesia, DKI Jakarta, dengan segala permasalahannya, memang tidak akan pernah habis. Mulai dari problem-problem yang bisa dengan mudah ditemui setiap detik seperti kemacetan, kejahatan, banjir, kemiskinan, hingga permasalahan yang terselubung di balik birokrasi yang korup, bahkan hingga unit terkecil.

Logika paling mudah saat kita dihadapkan kepada kesusahan adalah mencari solusi. Dan saat ini, biasanya solusi itu mensyaratkan sesuatu yang kita sebut UANG. Lapar, butuh makan, maka beli bahan makanan untuk dimasak, atau beli makanan jadi. Macet butuh perluasan jalan raya, maka dibuatlah proyek konstruksi. Sakit butuh pengobatan, maka pergi ke dokter untuk konsultasi lalu membeli obat.

Mari kita kesampingkan dahulu soal bahan pangan yang bisa ditanam di pekarangan, soal penggunaan transportasi umum yang lebih murah, soal gaya hidup yang lebih sehat sehingga tidak mengundang penyakit. Kita kembali ke solusi yang sangat pintas dan mudah. UANG

Oke, jika beberapa masalah bisa diselesaikan dengan uang. Maka masalah jakarta seharusnya bisa selesai. KARENA, DKI jakarta bukanlah propinsi yang miskin, tahun 2009, tercatat 90 persen aset Pemprov DKI tercatat sebesar 344 TRILIUN! Dengan APBD tahun 2011 sekitar 31 Triliun, dan APBD 2012 sekitar 35 Triliun. Sebagai Ilustrasi, jika APBD DKI dibagikan kepada 10 juta penduduk DKI, maka setiap orang akan mendapat 3,5 juta rupiah per tahun. Dan jika asetnya juga ikut dibagikan, maka setiap orang akan mendapat 34,4juta rupiah! HILANG SUDAH KEMISKINAN.

Sayangnya, kita tidak bisa melepas begitu saja semua aset dan uang itu kepada masyarakat. Kita juga tidak menginginkan warga hidup tanpa pemimpin. Hitungan di atas hanyalah ilustrasi untuk menunjukkan bahwa Jakarta ini kaya, dan uangnya seharusnya cukup untuk menyelesaikan masalah-masalah yang setiap hari dikeluhkan warga.

LALU DIMANA SALAHNYA?

Kembali ke judul tulisan ini. Ibukota yang Durhaka. Kita boleh mengeluh Jakarta tidak nyaman ditinggali, Jakarta tidak aman, Jakarta tidak ramah dan segala macam keluhan lain. Tapi kita selalu lupa, SIAPA JAKARTA? Ya, siapa. Karena Jakarta bukanlah benda mati yang bisa kita beli lalu jual lagi dengan sedikit keuntungan atau kerugian. Jakarta adalah kehidupan. Kehidupan yang urat nadinya adalah jalan-jalan raya tempat warga beraktivitas dalam organ-organ bernama kantor pemerintah, kantor swasta, rumah sakit, taman kota, hingga trotoar.

Pemerintah hanyalah satu dari mereka yang bertanggungjawab terhadap Jakarta. Naif sekali jika kita meminta 80ribuan PNS Pemprov DKI Jakarta untuk menjaga 10 juta orang jakarta agar bisa makan enak dan tidur nyenyak. Kita, orang jakarta, yang selama ini tertawa dan menangis di kota inilah, yang seharusnya paling bertanggungjawab terhadap Jakarta.

Saya tidak ingin membela pemprov DKI yang dipimpin oleh Fauzi Bowo. Jajaran Pemerintah DKI jelas-jelas salah mengelola dan menyia-nyiakan potensi untuk membuat Jakarta yang sakit ini menjadi Jakarta yang sehat. Anggaran 35 triliun namun masih menyisakan tempat untuk warganya mengalami gizi buruk jelas tidak bisa dimaafkan, apalagi diberi kesempatan kesekian kalinya. Lho, tulisan ini kok jadi berbicara soal pilihan politik? YA! Karena itu tanggung jawab kita.

Aneh rasanya jika kita yang telah membayar pajak tidak bertanya-tanya soal kemana uang-uang itu. Di luar nalar jika kita membayar iuran sampah namun masih sempat melihat tumpukan sampah di kompleks perumahan kita, tanpa pernah protes sedikitpun. Bahkan tanpa tahu, bahwa ada anggaran lebih dari 1,5 triliun per tahun hanya untuk mengelola sampah.

Dan dengan semua problem itu, kita hanya protes akan berbagai masalah, kemudian seenaknya memilih untuk tidak memilih dengan alasan politisi itu busuk! Jadi siapa yang durhaka? Siapa yang tidak peduli akan jakarta?

Tidak sampai satu tahun lagi kita akan memilih pemimpin baru untuk kota ini. Sudahkan kita mengenal calon yang akan mengelola Jakarta hingga 2017? Apakah kita akan memilih ahlinya yang sudah 20 tahun terlibat dalam menyuburkan korupsi di birokrasi? Apakah kita akan memilih politisi yang hanya terlihat saat mereka mendatangi lokasi bencana dan memaksa korban untuk tersenyum saat difoto menerima bantuan? Apakah kita akan memilih Jenderal-Jenderal yang tiba-tiba namanya kita kenal lewat spanduk dan billboard mahal?Apakah kita akan memilih orang-orang vokal yang katanya independen, pro kemiskinan, namun hidup dari dukungan lingkaran kekuasaan dan pengusaha kotor?

Atau kita mau lebih banyak belajar, mau lebih banyak mencari tahu nama-nama yang selama ini muncul di koran ataupun media sosial? Atau kita mau lebih banyak membuka mata telinga hati dan pikiran untuk orang yang memang bekerja untuk Jakarta, untuk warganya, untuk orang-orang yang punya harapan dibalik penderitaan. Bersediakan kita untuk sadar, bahwa penting sekali untuk MEMILIH! Dan dengan alasan yang cukup kuat.

Jakarta, kita masih punya sedikit waktu untuk mencari alasan itu, kita masih punya waktu untuk menyadari pentingnya pilihan kita. Politisi adalah cerminan dari masyarakatnya. Elit yang menyuap pengusaha, atau disuap pengusaha, tidak lebih buruk dari masyarakat biasa yang tidak peduli terhadap anak-anak jalanan yang dilacurkan. Bukan soal menyumbang uang seribu duaribu. Tapi soal menyempatkan waktu untuk berpikir mengapa Jakarta kita seperti ini.

Sampaikan pendapat teman-teman sekalian di kolom komentar, siapa yang akan teman-teman pilih. Mengapa teman-teman memilih....

Tabik

Rizqi R.Mosmarth

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline