Lihat ke Halaman Asli

Mencari Terang di Tengah Gelap: Suara Pers Indonesia

Diperbarui: 17 Mei 2024   17:11

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Sejak UU no 40 tahun 1999 disahkan, tidak ada larangan penyiaran terhadap karya jurnalistik. Jurnalis dibebaskan untuk meliput berita dan melakukan jurnalistik investigasi. Seorang jurnalis dapat berkarya tanpa adanya halangan tahapan SIUPP yang rumit.

Pada tanggal 27 Maret 2024, dikeluarkan RUU tentang Pers. RUU ini merubah beberapa regulasi terhadap kebebasan seorang jurnalis. Salah satunya yang muncul dalam Pasal 50 B ayat 2 huruf (c) yaitu "Selain memuat panduan kelayakan Isi Siaran dan Konten Siaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1), SIS memuat larangan mengenai: larangan penayangan eksklusif jurnalistik investigasi." Larangan ini diberikan agar tidak ada irisan materi antara investigasi jurnalistik dengan pihak aparat penegak hukum yang sedang menjalankan proses investigasi. Dengan demikian, investigasi oleh pihak aparat penegak hukum dapat berlangsung dengan lancar.

Namun, rancangan ini bertentangan dengan kemerdekaan pers yang tertulis dalam UU no 40 tahun 1999. Kemerdekaan mengeluarkan pikiran dan pendapat seorang jurnalis dibatasi oleh RUU ini. Sebagai negara yang demokratis, kemerdekaan pers menjadi unsur yang sangat penting untuk kehidupan masyarakat. Mengurangi kebebasan sama saja dengan mengurangi aliran udara demokrasi.

Pelarangan investigasi jurnalistik menunjukkan bahwa pemerintah tidak memberikan kebebasan kepada pers untuk memberi tahu kepada masyarakat apabila ada pihak yang menutupi kebenaran atau berbohong. Salah satu contoh nyata dari investigasi jurnalistik adalah investigasi tim Tempo tentang pembantaian warga sipil tak bersenjata oleh pasukan militer di Blora, pada tahun 1977. Melalui investigas ini, tim jurnalis Tempo berhasil meningkatkan kesadaran masyarakat tentang pelanggaran HAM dan pentingnya akuntabilitas seorang pemerintah. Dengan kata lain, masyarakat akan semakin kritis terhadap informasi yang mereka terima.

Jika RUU ini disahkan, jurnalis dan masyarakat akan mengalami kerugian besar. Informasi akan terhambat dan terbatas hanya dari satu sumber saja. Ini bisa menjadi bibit dari otoritarian rakyat terhadap pemerintah. 

Tentu saja, sejarah tidak boleh terulang kembali. Pemerintah tidak boleh mengambil kuasa penuh atas penyaluran informasi kepada masyarakat. Perlu adanya kebebasan untuk bersuara, sebagaimana Indonesia yang adalah negara Demokratis. Maka, pengesahan RUU tersebut akan memberangus kebebasan pers dan mengancam demokrasi di Indonesia.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline