Lihat ke Halaman Asli

Mory Yana Gultom

Not an expert

Cerpen | Yang Belum Terungkapkan

Diperbarui: 1 Januari 2020   00:14

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

2019.

Tak ada warna-warni. Hitam semata. Atau mata ini ketutupan dengan warna lain yang lebih cerah? Terlalu sibuk menghadapi hitam demi hitam yang seolah tak mau pudar? Entah.

Kita mengawali tahun ini dengan menonton sebuah film drama komedi bertajuk "Orang Kaya Baru." Larut dalam tawa, sesekali berhayal bagaimana jika aku yang tiba-tiba menjadi orang kaya karena mewarisi harta dari orang yang tak terduga umpamanya. Tapi tetap, kesan yang paling kuat di sana adalah soal keterikatan dan keterkaitan keluarga: Bapak yang mengajarkan kesederhanaan, ketekunan dan tanggung jawab. Ibu yang mengajarkan kesetiaan, teruji dalam segala keadaan, miskin sekalipun. Kakak yang mengajarkan perjuangan cinta, dan adik yang mengajarkan pentingnya obrolan dan kebersamaan, meski hanya sejenak di meja makan.

Film yang sangat menghibur, katamu. Iya, kataku. Kubawa pulang satu pelajaran: keluarga adalah satu-satunya tempat pulang yang sempurna, yang akan membuka tangannya memelukmu dalam kondisi apapun. Susah-senang, jatuh-bangun, kaya-kere, necis-kumal.

Itulah terakhir kali aku tertawa lepas di 2019. Setelahnya, tak terhitung berapa kali aku menangis, bahkan hingga jatuh sakit akibat terlalu sering sesenggukan. Setelahnya, wajah tak terhindarkan dari raut murung, mendung di mata pertanda berduka menggelayut sepanjang hari. Setelahnya, tawa hanya sekadar, ikut-ikutan saja daripada dikira tak punya selera humor. Tawa yang hambar. Garing.

Engkau tahu bagaimana aku terseok-seok menjalani hari-hari sepanjang tahun ini. Engkau menyaksikan sehancur apa aku ketika harus menyerahkan diri ke mulut-mulut penuh amarah dan sumpah serapah itu. Engkau melihat terinjaknya harga diriku menerima semburan caci maki dan tagihan pertanggungjawaban atas dosa yang tak kubikin. Pasang badan, taruhan nyawa, demi apa yang dipesankan di film yang kita tonton di awal tahun itu: keluarga. Engkau tahu, setelah itu tak lagi ada yang tersisa untuk diriku sendiri.

Terima kasih.

Engkau menjadi support system di sepanjangnya. Semoga esok masih juga demikian.

Maaf.

Mungkin kau pun lelah mengikuti perjalananku yang tak jua berujung bahagia. Kelam melulu.

Tapi telinga yang kau sediakan mendengar setiap keluh kesahku sungguh berarti. Tisu yang dengan sigap kau sodorkan untuk menghapus air di mataku, tangan di pundak yang kau tepukkan agar tangisku sedikit mereda, itupun telah menopangku. Amarahmu kepada yang telah melukaiku, rasa sebalmu pada orang-orang yang sok mencibirku, itulah yang masih membuatku bisa tersenyum hingga kini.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline