Lihat ke Halaman Asli

Mory Yana Gultom

Not an expert

Langkah Pertamina dan Konsep Penyelamatan ala Robin Hood

Diperbarui: 18 Juni 2015   00:04

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bisnis. Sumber ilustrasi: PEXELS/Nappy

Alkisah, Sheriff of Nottingham memanfaatkan kekuasaannya untuk menekan rakyat. Ia memberlakukan pajak dalam jumlah yang cukup besar sehingga sebagian besar rakyat hidup dalam kemiskinan. Tidak ada yang berani melawan sang Sheriff karena mereka harus berhadapan dengan tentara sang Sheriff yang terkenal kejam.

Adalah Robin Hood, seorang petualang yang hidup di tengah hutan Nottingham. Tak tega melihat rakyat menderita, Robin kemudian membentuk pasukan kecil dan berbekal kemahirannya memanah dia mulai menebar teror buat tentara sang Sheriff. Setiap kereta yang berisi pajak buat sang Sheriff dirampok oleh Robin dan pasukannya dan harta yang mereka peroleh kemudian mereka bagian kembali pada rakyat.

Ringkasan cerita di atas adalah sebuah kisah legenda paling terkenal di dunia. Kisah heroik yang tak pernah lekang dari zaman ke zaman bahkan menjadi inspirasi bagi banyak orang dalam memaknai implementasi keadilan. Konsepnya: take from the greedy, give to the needy (Mengambil dari yang serakah, memberi kepada yang miskin). Sesederhana itu.

***

Langkah Pertamina Naikkan Harga LPG 12 Kg

Memasuki tahun 2014, kita sudah disuguhi dengan isu kenaikan harga LPG. Setelah menuai pro dan kontra (hal yang lazim dalam meresponi sebuah kebijakan), akhirnya tanggal 10 September lalu PT. Pertamina resmi mengumumkan informasi resminya. Perusahaan yang merupakan badan usaha milik negara (BUMN) seratus persen ini konon terpaksa menaikkan harga LPG kemasan tabung 12 kg, sebab selama ini Pertamina menjual secara merugi. Konon kerugian Pertamina sejak tahun 2009 - 2013 mencapai Rp 17 Trilyun. Sementara kerugian di sepanjang tahun 2013 saja diperkirakan berada pada kisaran Rp 5,7 triliun. Data ini kabarnya berasal dari hasil audit yang dilakukan oleh Badan Pemeriksa Keuangan.

Bayangkan apa yang bisa disediakan oleh Negara ini dengan dana sebesar 17 trilyun. Mungkin gedung sekolah atau beasiswa, mungkin infrastruktur ke tempat terpencil. Mungkin juga alat-alat pertanian bagi para petani. Atau bahkan lapangan pekerjaan yang memadai yang mampu menampung ratusan anak bangsa yang masih pengangguran.

Pada kenyataannya, uang yang tidak sedikit jumlahnya itu harus “terbuang” sia-sia akibat harga jual LPG, yakni kemasan 3 kg dan 12 kg yang lebih besar dibandingkan dengan harga beli, dimana bahan bakar ini ternyata dibeli dari luar negeri (impor). Niat awal pemerintah dalam mematok harga ini sebenarnya baik. Negaralah yang menutupi kekurangannya. Dengan kata lain, selama ini, LPG ukuran ini disubsidi oleh pemerintah.

Namun masalah yang timbul kemudian adalah subsidi yang salah sasaran. Konsumen LPG 12 kg kebanyakan berda dalam golongan mampu yang tinggal di perotaan, yang lebih dari 30 % kepala rumah tangganya memiliki pendidikan yang baik dan rata-rata lulusan akademi bahkan di atasnya. Pun jika dilihat dari gaya hidup, masyarakat pengguna LPG dalam ukuran ini memiliki gaya hidup dengan pengeluaran yang lebih tinggi (hampir 3 kali lipat) pengguna LPG lainnya.

***

Sebuah Kebijakan Ala Robin Hood

Kembali ke cerita Robin Hood. Tindakannya menyelamatkan kaum miskin dengan cara mengambil harta benda milik si kaya, membuatnya dipandang sebagai sosok pahlawan yang berjuang membela yang lemah.

Demikian halnya dengan langkah yang diambil pemerintah melalui Pertamina. Memang, bagaimanapun saya tidak bisa menyamakan Pertamina ini dengan Robin Hood dan tidak bermaksud demikian. Namun tampaknya itulah pendekatan yang paling bisa saya analogikan untuk menjelaskan bahwa kenaikan harga LPG 12 kg merupakan sebuah tindakan heroik untuk “menyelamatkan” masyarakat yang lebih membutuhkan.

Sekali lagi, ini hanya pendekatan semata. Jika Robin Hood merampok harta orang kaya yang serakah, Pertamina justru sedang meminta dengan carabaik-baik kepada masyarakat level sejahtera. Tentu saja kita berharap, mereka yang merasa “ketiban” inipun menanggapi positif apa yang dilakukan oleh pemerintah/Pertamina. Dengan demikian, mereka juga tengah berperan sebagai pahlawan penyelamat. Penyelamat Pertamina dari kerugian, dan penyelamat masyarakat kurang mampu dari beban ekonomi.

Harus Dimonitor

Kendati demikian, bukan berarti masalah sudah selesai hanya dengan menaikkan harga LPG 12 kg. Bisa jadi justru akan menuai kerugian yang lebih besar. Di lapangan pasti akan ada banyak hal yang tak terduga. Misalnya pengoplosan LPG oleh agen-agen tak bertanggung jawab. Atau beralihnya para pemakai LPG kemasan 12 kg ke 3 kg. Hal ini akan berimbas ke masalah yang lebih besar. Salah satu contoh, tingginya permintaan LPG subsidi 3 kg kelak akan memberi peluang kepada agen atau pengecer untuk menaikkan harga. Bagi pengguna kelas menengah ke atas, hal itu masih lebih menguntungkan daripada harus merogoh kocek lebih dalam untuk yang 12 kg, sehingga toh pelanggan tidak akan lari. Dan bagi masyarakat kurang mampu, inilah petaka. Lagi-lagi rakyat miskinlah yang akan menjadi korban ketidakadilan. Logikanya pasti begitu.

Sehingga kebijakan kenaikan harga LPG non-subsidi tidak boleh tidak membutuhkan pengawasan ketat dari pemerintah. Jangan sampai LPG 3 kg jatuh ke tangan masyarakat mampu, atau sebaliknya si miskin justru yang harus menelan buah pahit karena ketiban LPG tabung kemasan 12 kg.

Demikian juga masyarakat pengguna LPG 12 kg. Tidak perlu merasa dirugikan apalagi sampai berpikiran bahwa akan rugi besar dengan kebijakan ini. Justru harus merasa beruntung karena turut berperan dalam mendatangkan kesejahteraan bagi Indonesia yang kita cintai.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline