Guru adalah praktisi pendidikan, tapi ruang lingkupnya bukan di level kebijakan. Kalau begitu, apakah tepat kalau guru diharapkan berpartisipasi dan memengaruhi kebijakan pendidikan? Mustahil. Kalau mau menjadi orang yang memengaruhi kebijakan pendidikan, jadilah bagian dari birokrasi dan menjadi kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan. Tampaknya begitu. Lihatlah begitu berkuasanya Menteri Pendidikan kita untuk tetap menjalankan Kurikulum 2013 kendati terbentur oleh hujan kritik dan ketidaksiapan di lapangan.
Sebuah contoh kebijakan pendidikan adalah di kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan, yang menerapkan sistem alternatif Ujian Nasional dengan menerapkan program Kelas Tuntas Berkelanjutan (KBT). Program itu sudah berjalan dua tahun dan terintegrasi dengan 17 perguruan tinggi terkemuka, termasuk beberapa PTN terkemuka. Biasanya siswa tinggal kelas dan harus mengulang kembali semua mata pelajaran meski dia misalnya hanya tidak lulus 1 atau 2 mata pelajaran. Padahal sebenarnya sistem tinggal kelas tidak adil dan memboroskan anggaran pendidikan. Karena itu, KBT menganut sistem kredit, dalam arti tidak mengenal istilah tinggal kelas. Siswa yang nilainya kurang dalam mata pelajaran tertentu bisa kembali mengulang mata pelajaran tersebut meski telah duduk di kelas selanjutnya. Hasilnya, tahun 2012 lalu ada 71 siswa yang tidak lulus UN namun tetap bisa kuliah di 17 perguruan tinggi yang bermitra dengan Pemerintah Kabupaten Gowa. Ini sebuah contoh otonomi daerah, sesuatu yang mustahil terjadi di era Orde Baru yang serba sentral.Tapi sekali lagi, hanya itu yang bisa dilakukan daerah. Kebijakan UN sendiri ditentukan di pusat, di Kemendikbud. Karena itu, jadilah pejabat hingga ke tingkat pusat.
Kapabilitas Penguasa
Karut marut dunia pendidikan kita, seperti ganti menteri ganti kurikulum, ketiadaan evaluasi mendasar terhadap kurikulum sebelumnya, antara lain disebabkan yang dipercaya menduduki jabatan itu tidak tahu benar persoalan pedidikan dan di dalam tubuhnya tak mengalir darah keguruan. Sejak merdeka, kita punya 26 menteri pendidikan dan kebanyakan tak berlatar guru. Sebagian berlatar dosen di perguruan tinggi negeri ternama dan itupun semuanya di Jawa. Sehingga hampir dapat dipastikan, mereka tidak paham betul persoalan pendidikan di daerah. (Padahal, daerahlah yang paling sering menjadi korban ketidakadilan sistem yang ditetapkan secara “otoriter” dari pusat.) Umumnya mereka bukan ahli pendidikan, bahkan ada yang pernah menjabat menteri di bidang lain yang merupakan keahlian mereka, lalu karena disayang presiden, keberadaannya di kabinet dipertahankan dengan pos baru: Menteri Pendidikan.
Kita urutkan ke belakang, menteri-menteri di era pemerintahan yang stabil (1968, Kabinet Pembangunan I) mulai dari tahun lalu: Mohammad Nuh (sebelumnya Rektor ITS dan Menteri Komunikasi dan Informatika), Bambang Sudibyo (sebelumnya Menteri Keuangan), Abdul malik Fajar (sebelumnya Menteri Agama), Juwono Soedarsono (sebelumnya Menteri Lingkungan Hidup, sesudahnya sebagai Menteri Pertahanan di era Gus Dur dan SBY), Wiranto Arismunandar (Rektor ITB), Wardiman Djojonegoro (ahli energi), Fuad Hassan (psikologi pendidikan UI), Nugroho Notosusanto (doktor ilmu sastra bidang sejarah), Daoed Joesoef (kelahiran Medan, ahli ekonomi), Syarif Thayeb (dokter), Sumantri Brodjonegoro (sebelumnya menteri Energi dan Sumber Daya Mineral), Mashuri Saleh(tentara, sarjana Hukum). Mereka semua orang hebat di bidang masing-masing. Namun bagaimana mungkin orang yang tak memiliki prestasi di bidang keguruan disuruh menjadi menteri pendidikan yang persoalan utamanya adalah kualitas guru pendidikan dasar dan menengah? Namun, tentu itu bukan salah para menteri. Bagaimanapun, mereka telah memberikan yang terbaik mereka. Yang perlu kita pertanyakan adalah presiden yang agaknya tak punya visi pendidikan. Menteri Pendidikan tak diambil dari praktisi pendidikan dasar atau menengah atau yang berkecimpung dalam dunia pendidikan guru. Tidak heran pula ada perasaan kurang nyaman dengan nama IKIP sehingga kemudian berganti nama menjadi Universitas.
Menteri Pendidikan yang pertama adalah yang paling tepat: Ki Hajar Dewantara yang sayangnya hanya menjabat kurang dari 3 bulan. Barulah menteri ke-6 dijabat lagi oleh seorang dari Tamansiswa, Ki Mangunsarkoro yang sempat menjabat selama setahun. Satu lagi, Todung Sultan Gunung Mulia (hanya empat bulan) penerus Ki Hajar Dewantara. Setelah itu, kita tidak pernah memiliki Menteri Pendidikan sekaliber Ki Hajar Dewantara atau Ki Mangunsarkoro. Di era pemerintahan yang stabil, tidak seorang pun menteri berlatar belakang keguruan.
Seandainya guru yang bagus diangkat menjadi Menteri Pendidikan mungkin prestasinya bisa lebih bagus untuk membenahi kualitas guru kita. Sebagaimana disebut di atas, Menteri Pendidikan pertama Indonesia (waktu itu bernama Kementerian Pengajaran) adalah Ki Hajar Dewantara, pendiri Tamansiswa pada tahun 1922dan anggota BPUPKI yang merumuskan Pasal 31 UUD 1945 tentang sistem pendidikan nasional. Kiprah Tamansiswa dalam dunia pendidikan sangat penting. Pemerintah kolonial sudah memfasilitasi pendidikan untuk kaum pribumi. Karena itu, Gubernur jenderal mengeluarkan sebuah perintah yang melarang pendirian sekolah di luar sekolah yang diakuai pemerintah. Sebutannya adalah sekolah liar. Namun pergerakan nasional melawan keras peraturan itu sehingga akhirnya dicabut. Sekolah Tamansiswa mengajarkan kepada siswa agar rakyat Indonesia meraih kemerdekaan dengan melawan penjajah dan karena itu tergolong sekolah liar di mata kolonial. Demikian Menteri Pendidikan pertama Indonesia adalah seorang aktivis pendidikan yang punya konsep, visi dan pengalaman. Sayang, sejak saat itu tidak ada Menteri Pendidikan kita yang sosoknya seperti dia. Presiden-presiden kita sepertinya tidak serius dengan pendidikan sebagai jalan kebangkitan bangsa. Masyarakat pun tak mempermasalahkan.
Menteri pendidikan yang saat ini menjabat, sedikit menumbuhkan harapan. Anies Baswedan (Rektor Universitas Paramadina) meski tak berlatar guru, tapi sepak terjangnya kita tahu tidak jauh dari dunia pendidikan. Selain sebagai rektor termuda di Indonesia, beliau juga telah menginisiasi gerakan Indonesia Mengajar, sebagai sebuah jawaban akan kegelisahannya dalam pendidikan: minimnya pendidik berkualitas di daerah pinggiran. Setidaknya hal ini mengindikasikan bahwa ia paham persoalan pelik dunia pendidikan kita. Tetapi saat ini masih terlalu dini memberikan kesimpulan.
Menulis, Peran Strategis Guru
Lantas apa yang dapat dilakukan oleh para guru dalam demokrasi pendidikan di zaman ini? Cukup hanya sebagai pengajar yang baik? Yang menyusun RPP dan menyelesaikan bahan ajar tepat waktu?
Meski kondisi ekonomi dan infrastruktur pendidikan saat ini kurang lebih sama dengan era Soeharto, kita hidup di era yang relatif bebas. Di Medan misalnya, terbentuk Komunitas Air Mata Guru (KAMG) untuk mengkritisi kebijakan UN. Suara PGRI juga cukup kuat. Kebebasan berserikat ini perlu dimanfaatkan untuk memberi tekanan kepada pemerintah agar serius membenahi pendidikan bangsa. Perlu memperjuangkan nasib guru honorer untuk beroleh status guru tetap. Jangan sampai seperti 10 guru honorer di Kecamatan Woten, NTT, yang berhenti mengajar setelah 6 tahun karena tidak mendapat honor dan memilih menjadi tenaga kerja wanita ilegal di Malaysia.
Selain itu, perlu ada beberapa guru menyuarakan suara guru dan dunia pendidikan di daerah dengan memanfaatkan media massa di daerah, dan kalau bisa, media nasional. Tergantung bobot masalahnya. Dengan media nasional, efeknya tentu lebih besar. Mungkin perlu dibentuk kelompok kecil guru yang menulis untuk koran. Cukup satu kelompok yang terdiri atas tiga atau empat orang dan di dalam kelompok itu saling mengasah kemampuan menulisnya agar menjadi suara-suara perjuangan.
Fokus utamanya tak harus demi mengubah kebijakan. Karena sekali lagi, peranan guru bukan di level kebijakan. Namun bagaimanapun, tulisan seorang guru yang adalah sebuah ide kependidikan yang berasal dari pendidik itu sendiri akan lebih terasa gaungnya hingga ke tingkat pemerintah. Apalagi pemerintahan kita yang sekarang tampaknya sedang diisi oleh sosok-sosok yang mau mendengar bahkan turun ke bawah. Sepakar-pakarnya Anies Baswedan dalam hal pendidikan, mustahil ia lebih tahu kondisi sekolah yang ada di Medan (misalnya) daripada guru yang bekerja di sekolah itu. Maka yang paling tepat menyampaikan permasalahan disana tidak lain adalah guru itu sendiri.
Selain itu, guru juga dapat saling bertukar ide dalam permasalahan yang kerap ditemui di lingkungan sekolah, misalnya berbagi soal langkah praktis menerapkan kurikulum, mengatasi kenakalan anak dan lain sebagainya. Dan sarana yang paling strategis untuk itu tentulah melalui tulisan. Hal ini telah lama pula ditekuni oleh Tanoto Foundation. Mereka berbagi ide melalui tulisan yang diangkat langsung dari lapangan. Akrabnya Tanoto dengan dunia pendidikan menjadi titik awal lahirnya pemikiran-pemikiran bernas yang tertuang dalam beberapa buku. Contohnya buku “Menjadi Sekolah Terbaik” dan “Guru Kreatif, Anak Aktif” yang dibedah beberapa bulan yang lalu bersama Kompasiana di Medan.
Seorang guru tentu tak harus bisa menghasilkan sebuah buku. Cukup melalui artikel yang dikirim ke media-media massa seperti saya sampaikan di atas. Atau melalui blog pribadi. Atau akan lebih strategis jika memanfaatkan kompasiana. Sebuah etalase warga yang mampu menjaring pembaca dari hampir semua sudut Nusantara, yang berasal dari berbagai kalangan, mulai dari masyarkat biasa, sampai pengusaha juga penguasa. Guru, jangan pula ketinggalan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H