Huta Siallagan dikatakan Kampung Kanibal
Huta dalam bahasa Batak artinya kampung sedangkan Siallagan diambil dari nama Raja Siallagan. Kampung ini dibangun oleh keluarga Batak bermarga Siallagan, lalu dipimpin oleh Raja Siallagan. Huta Siallagan merupakan desa batak kuno yang terletak di Kecamatan Simanindo, Kabupaten Toba Samosir, Sumatera Utara.
Desa ini berada tepat di pinggiran Pulau Samosir, sehingga tak heran desa ini dikelilingi oleh panorama keindahan di sekitar Danau Toba. Memiliki luas sekitar 2.400 meter persegi dengan rumah-rumah adat batak (Rumah Bolon) yang tersusun rapi yang berumur ratusan tahun dan memiliki fungsi yang berbeda. Ada yang digunakan sebagai rumah raja dan keluarga, ada juga sebagai tempat pemasungan serta dikelilingi oleh tembok batu alam setinggi 2 meter. Perkampungan ini juga salah satu tempat yang terkenal dengan tradisi kanibalismenya alias pemakan daging manusia.
Jika kita perhatikan lebih jelas, di depan rumah bolon terdapat beberapa ornamen khas yaitu topeng dengan ekspresi menakutkan (Jaga Dompak), patung kepala singa, patung cicak, dan simbol dada. Ornamen-ornamen tersebut bukan sekedar pajangan biasa tetapi memiliki fungsi tersendiri yang diyakini oleh masyarakat desa. Jaga dompak dan singa-singa berfungsi untuk menangkal roh jahat.
Sedangkan secak yang disebut boraspati merupakan hewan yang bisa hidup di mana-mana, baik itu di rumah mewah dan di rumah sederhana. Sementara Lambang payudara melambangkan simbol kekayaan dan orang dermawan yang harus bisa membantu orang lain. Lambang Payudara bisa juga diartikan sejauh mana pun orang Batak merantau, jangan lupa orangtua dan jangan lupakan kampung halaman, intiya jangan lupa akan kampung halaman.
Huta Siallagan dijuluki sebagai kampung kanibal karena dulunya orang-orang di daerah tersebut akan dihukum pasung atau Pancung jika melakukan kejahatan. Setelah proses eksekusi, jantung dan hati penjahat tersebut biasanya akan dimakan untuk menambah kekuatan sang raja. Tubuhnya akan dibagi-bagikan kemasyarakat untuk dimasak dan disantap bersama. Sementara kepalanya akan diletakkan di depan gerbang masuk Huta Siallagan, sebagai peringatan kepada raja lain atau rakyat agar tidak melakukan perbuatan yang sama. Setelah membusuk, kepala akan dibuang ke hutan di balik kampung, dan selanjutnya warga akan dilarang beraktifitas di hutan itu juga selama 3 hari.
Hukum Adat yang digunakan sebagai dasar dari hukum untuk pelaku kejahatan di Huta Siallagan
Pada dasarnya, hukum dan masyarakat adalah dua hal yang saling berkaitan satu sama lain. Di mana ada masyarakat, disitu ada hukum, begitu juga sebaliknya. Begitu juga dengan proses kelahiran hukum adat, di mana hukum adat tidak terjadi secara tiba-tiba, melainkan melalui sebuah proses yang panjang. Setiady (2008) menjelaskan bahwa perilaku yang terus-menerus dilakukan perorangan menimbulkan kebiasaan pribadi. Kebiasaan tersebut menjadi tata kelakuan yang kemudian mengikat manusia satu dengan lainnya yang lambat laun menjadi hukum adat mereka sendiri.
Kemudian Soekanto (1972) menjelaskan bahwa hukum adat berkaitan dengan 3 kelompok, yaitu :
- Hukum yang bersumber dari masyarakat itu sendiri sebagai sesuatu yang seharusnya dilakukan oleh masyarakat.
- Hukum yang bersumber pada hakim yang menghadapi kenyataan, bahwa peraturan dan tingkah laku yang oleh masyarakat serta perasaan umum di mana hukum tersebut harus dipertahankan.
- Hukum adat mencakup seluruh peraturan yang menjelma pada keputusan para pejabat hukum, yang dipatuhi dengan sepenuh hati oleh masyarakat.
- Maka dari itu, Hukum Adat Huta Siallagan mempunyai ciri-ciri dari ketiga poin diatas, terutama tentang pernikahan sesama marga yaitu :
- Masyarakat Huta Siallagan mempunyai keyakinan bahwa sistem marga adalah cara untuk mengikat persaudaraan satu sama lain. Maka dari itu, individu yang memiliki marga yang dianggap keluarga tidak diperbolehkan menikah.
- Masyarakat Huta Siallagan memahami bahwa peraturan tersebut harus dipatuhi sebagai upaya untuk mempertahankan hukum tersebut dengan hukuman-hukuman adat yang diberikan bagi para pelanggarnya.
- Masyarakat Huta Siallagan mematuhi hukum tersebut dengan sepenuh hati sebagai rasa hormat dan peduli mereka terhadap para leluhur mereka.
Ada 3 jenis hukuman yang ada dalam persidangan di Huta Siallagan ini :
- Hukum Denda
Hukuman denda adalah hukuman yang akan diberikan bagi terdakwa yang ketahuan mencuri. Raja masih bisa memaafkan dan membebaskannya dengan 1 syarat yaitu si pencuri bisa mengganti 4x dari benda yang dicurinya. Sebagai contoh, apabila si pencuri mencuri seekor kerbau, maka dia bisa bebas asalkan dia menggantinya dengan 4 ekor kerbau. Lantas apa hukuman yang ia dapatkan jika tidak bisa mengganti sebesar 4x dari nilai benda yang diambilnya. Maka pencuri tersebut harus menjadi budak raja.
- Hukum Pasung
- Hukum Pasung adalah suatu tindakan memasang sebuah balok kayu pada tangan dan atau kaki seseorang, diikat atau dirantai, diasingkan pada suatu tempat tersendiri di dalam rumah ataupun di hutan. Hukum pasung di huta siallagan ini digunakan ketika melakukan kejahatan kecil.
- Hukum Pancung
- Hukum pancung adalah bentuk hukuman mati yang melibatkan pemenggalan kepala terpidana. Pada masyarakat huta siallagan bagi tindak kejahatan yang tergolong berat maka pelaku akan dijatuhi hukuman pancung atau pemenggalan kepala. Setelah tiba hari pemancungan, pelaku kejahatan akan ditempatkan di sebuah meja batu dengan mata tertutup kain ulos. Tidak sampai disitu, hukum pancung dibuat sedemikian dramatis. Pertama-tama penjahat akan diberi makan yang berisi ramuan dukun untuk melemahkan ilmu hitam. Kemudian pelanggar akan dipukul menggunakan tongkat tunggal panaluan, yaitu tongkat magis dari kayu berukir gambar kepala manusia dan binatang, dengan bagian atas berupa rambut panjang. Sementara saat dieksekusi, pakaian penjahat terlebih dahulu dilepaskan untuk memastikan tidak ada jimat yang masih tersisa. Setelah itu, seluruh bagian tubuh akan disayat-sayat. Jika sudah terluka dan berdarah, bisa dipastikan ilmu hitam yang biasanya membuat orang kebal, telah hilang. Tak sampai di situ, jika tubuh telah mengeluarkan darah, akan disiram dengan air asam sampai si penjahat semakin lemah. Setelah itu, baru hukum pancung dilakukan. Yang tambah membuat menyeramkan adalah setelah proses eksekusi selesai, konon jantung dan hati penjahat tersebut biasanya akan dimakan agar menambah kekuatan sang raja. Sementara kepala yang sudah terpisah dari badan akan diletakkan di meja berbentuk bulat, sementara badannya akan diletak di meja berbentuk persegi. Badan pelaku akan dibuang ke Danau Toba selama tujuh hari tujuh malam. Selama itu pula para penduduk dilarang melakukan aktivitas di dalam Danau. Sedangkan kepalanya akan diletakkan di depan gerbang masuk Huta Siallagan, sebagai pemberi peringatan kepada raja lain atau rakyat agar tidak melakukan perbuatan yang sama. Setelah membusuk, kepala akan dibuang ke hutan dibalik kampung, dan selanjutnya warga akan dilarang beraktivitas di hutan selama 3 hari.