Lihat ke Halaman Asli

Chitato Beraroma Pocari

Diperbarui: 24 Juni 2015   13:36

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Menulis karena niat bukan keinginan. Coba resapi dan rasakan tiap kata yang ingin kamu rangkai tanpa mengapresiasikannya berlebihan...

Well, aku ingin bercerita di tulisan ini karena bagianku pada saat ini adalah menulis. Selanjutnya bagian membaca aku serahkan pada pembaca, baik yang hanya sekedar membaca maupun yang serius membacanya. :D

Siang yang begitu terik aku duduk diiringi beberapa alunan lagu dari salah satu stasiun radio dan ditemani sebungkus Chitato segar beraroma Pocari. Rasa ngantuk pun sirna karena single yang ditawarkan begitu memacu adrenalin tuk bergema meski tidak begitu merdu.

Tiba-tiba aku teringat akan sebuah lorong yang hampir tiap hari kulewati. Aku melintas lorong itu tiga kali sehari. Seperti minum obat saja, meski ada obat yang diminum satu kali sehari atau bahkan lima kali. Namun sepertinya kali ini aku tidak ingin membahas obat terlalu jauh, kembali ke lorong. Aku melintasinya pagi saat berangkat kerja, saat orang sekitarku masih banyak yang terpulas dalam buaian mimpinya. Sore ketika pulang kerja, saat orang berteduh di bawah atap rumah mereka menyaksikan berita tentang para politikus yang saling membunuh. Lalu malam hari, ketika perut ini tidak ingin kompromi, mendendangkan lagu yang tidak teratur ketukannya, suara cacing-cacing di dalam sana yang minta diberi nutrisi dan vitamin. Tapi seribu kalipun aku melintas, lorong ini tetap sama. Berukuran lebar hanya sebesar mobil sedan jadul dan panjangnya kurang lebih sepanjang tinggi spanduk parpol yang terpasang di sekeliling jalan raya. Dilindungi dinding tinggi gedung mewah. Selalu dingin bagiku.

Tapi pada subuh ini lorong itu berbeda, aku menemukan sosok yang ingin memberikan sebuah pesan khusus padaku.   Aku pun menghampirinya dengan sedikit rasa gemetar karena tampilannya yang sangat lusuh berjubah hitam dan berjanggut layaknya seorang pemimpin suatu kepercayaan tertentu. Arya, begitu dia dipanggil.  Arya membuka percakapan bagai memberikan kode morse dan memang benar dia memberikan sebuah amplop yang belum aku tahu apa isinya. Aku bisa menghafal dewa-dewi umat Hindu sebanyak 36.000.000 namun untuk menebak apa isi amplop itu sepertinya tidak semudah menghafal dewa-dewi itu.

Arya hanya berpesan supaya aku memberikan isi amplop itu kepada orang yang tepat sebelum ayam berkokok di esok hari. Aku bertanya siapakah orang yang tepat itu, tapi seblum aku menerima jawaban nyata Arya telah menghilang dari hadapanku. Sepanjang jalan melewati lorong hingga sampai di tujuan pikiranku tak lepas dari sosok Arya dan isi amplop tersebut. Semakin aku berpikir maka semakin sedikit waktu untuk memberikan isi amplop itu kepada objek yang dituju.

Aku mulai melangkahkan kaki mencari sosoknya, seandainya bisa searching via google maps atau gps pikirku. Beberapa orang kulewati dan kutawarkan apakah mereka tertarik dengan amplop tersebut, dan semua memiliki respon yang berbeda-beda. Mulai dari yang pertama sekelompok pemuda menginginkan amplop itu apabila mereka diberikan beberapa botol Jack Daniels, Black Label atau beberapa jenis whiskey dan tiga bungkus filter menthol. Aku tidak tertarik dengan negosiasi tersebut dan kulanjutkan melakukan pencarian.

Yang kedua sekelompok anak gadis mau menerima amplop tersebut asal nama grup mereka bisa kutampilkan di salah satu kolom majalahku. Sebelumnya pekerjaanku adalah editor dari suatu majalah entertainment yang cukup populer di negara tempat aku berpijak. Aku menolak tawaran mereka karena alasan yang menurutku terlalu dipaksakan. Bahkan mungkin para koruptor di negeri ini bersikap seperti yang ditunjukkan oleh orang-orang yang kutemui tadi apabila hendak menegosiasikan beberapa kontrak atau tender. Wajar saja bule-bule pada saat ini berbondong-bondong bekerja di negaraku, segala sesuatu bisa dilegalkan. Logisnya pendidikan harus ditingkatkan kualitasnya agar bisa bersaing dengan bule yang datang dari berbagai belahan dunia itu. Akhhh, sudahlah... Sepertinya aku sudah terlalu jauh memikirkannya. Aku kembali melanjutkan perjalanan.

Waktu sudah larut malam, suara desahan jangkrik nyaris terdengar karena sepinya suasana tempatku melangkah. Perut keroncongan membuatku seakan berlari menyantap beberapa tusuk sate  yang terhidang di hadapanku. Seketika itu aku bagai seekor harimau buas yang menunggu beberapa detik lagi untuk menyantap mangsanya. Namun aku tiba-tiba melembut ketika melihat beberapa potongan bawang merah dan putih yang ditaburi di atas tusukan sate. Lonjakan harga bawang sudah sangat tidak wajar jika dibandingkan dengan harga daging kambing yang hendak aku kebiri. Endonesahhh gumamku.

Sambil mengunyah aku melihat sepasang suami istri dari kejauhan dan sudah terekem niat untuk memberikan amplop kepada mereka.

Sepasang suami istri berjalan dengan penuh cinta dan harmoni.

Cinta itu mirip bendungan ; jika kau memberikan satu celah yang hanya bisa dirembesi sepercik air, percikan itu akan segera muruntuhkan seluruh bendungan, dan tak lama kemudian tak seorang pun bisa mengendalikan kekuatan arusnya.

Setelah bendungan itu runtuh, cinta pun mengambil kendali, dan apa yang mungkin ataupun tidak, tak lagi berarti; bahkan bukan masalah apakah orang yang kita cintai itu tetap di sisi kita atau tidak. Mencintai berarti kehilangan kendali.

Kendali yang seperti perangkap. Ketika cinta muncul, kita hanya melihat cahayanya, bukan sisi gelapnya.

“Orang bijak pun menjadi bijak hanya karena mereka mencintai. Dan orang bodoh menjadi bodoh hanya karena mereka bisa memahami cinta.”

“Akhirnya tuntas juga tugasku.”hahaha... Tugas menemukan sosok yang tepat bukan tugas untuk menelanjangi kamu tentang cinta.

Aku berjalan bagai seorang sales marketing dari suatu perusahaan gadget China yang hendak menawarkan keunggulannya. Untungnya suami istri tersebut bersikap ramah dan tidak ada kekakuan ataupun mimik curiga saat menyambut kedatanganku. Dalam proses percakapan kami memang tidak ada yang membuatku canggung dan pupus harapan untuk memberikan amplop tersebut namun suami istri tersebut lebih mempercayakan amplop itu tetap berada pada otoritasku.

Aku pun tersentak dan mengingat kembali akan apa yang dikatakan Arya padaku.

“Bukannya Arya menyuruhku untuk memberikan amplop itu kepada sosok yang tepat?”, “Mengapa suami istri ini malah mengatakan kalau amplop itu diotoritaskan kepadaku saja?”, “Apakah aku sosok yang tepat itu?”, “Apa parameter jikalau akulah sosok yang tepat menurut Arya?”

Begitu rentetan pertanyaan yang menyelimuti otak kananku pada malam itu.

Aku melihat jam dan sudah menunjukkan pukul 02.00 WIB, tinggal 180 menit lagi waktu yang kumiliki. Aku terlihat putus asa saat melewati lorong kecil itu, mengarahkan diri ke gubuk kecilku. Rasa gelisah yang menyelimutiku meski hanya sekejap dan kembali menanti secercah keajaiban suci.

Di depan meja kutemukan secarik kertas yang berisi kutipan khotbah yang aku catat di beberapa waktu lalu, aku pun sudah lupa kapan terakhir kali aku bergereja.

Kau harus mengambil resiko dalam hidupmu. Resiko apapun itu yang terjadi di hari esok. Kita hanya dapat memahami keajaiban hidup sepenuhnya jika kita mengizinkan hal-hal tak terduga untuk terjadi.

Setiap hari, Tuhan memberi kita matahari-juga suatu saat ketika kita mampu mengubah segala sesuatu yang membuat kita tidak bahagia. Setiap hari, kita berpura-pura belum mengalaminya, menganggap saat itu tidak ada-bahwa hari ini sama dengan kemarin dan tidak berbeda dengan hari esok. Namun jika setiap hari manusia sungguh-sungguh memperhatikan kehidupannya, mereka akan menemukan saat magis itu. Saat itu bisa saja muncul ketika kita melakukan sesuatu yang remeh, seperti menyelipkan anak kunci pintu ke lubangnya; saat itu juga bisa bersembunyi dalam keheningan sesudah makan siang, atau dalam seribu satu hal yang bagi kita tampak sama saja. Tapi saat itu ada-saat ketika segenap kekuatan bintang menjadi bagian dari kita dan memungkinkan kita menciptakan mujizat.

Kebahagiaan terkadang adalah berkat, namun lebih sering berupa penaklukan. Saat magis membantu kita berubah dan mengantar kita mencari mimpi-mimpi kita. Benar, kita akan menderita, kita akan menghadapi masa-masa sulit, dan kita akan mengalami banyak kekecewaan-namun semua ini hanya sementara; tidak akan meninggalkan bekas yang kekal. Dan satu hari kelak kita akan menoleh, dan memandang perjalanan yang kita tempuh itu dengan penuh kebanggaan dan keyakinan.

Betapa malangnya orang yang takut mengambil resiko. Mungkin orang ini takkan pernah kecewa; mungkin ia takkan menderita layaknya orang yang mengejar impiannya. Namun ketika orang ini menoleh-dan pada satu titik dalam hidupnya, setiap manusia pasti akan menoleh ke belakang-ia akan mendengar hatinya berkata. “Apa yang kau lakukan dengan semua mukjizat yang Tuhan berikan dalam hidupmu? Apa yang kaulakukan dengan semua karunia yang Tuhan limpahkan padamu? Kau mengubur dirimu di dalam gua karena takut kehilangan karunia-karunia itu. Jadi, inilah yang kauwarisi; bahwa kau telah menyia-nyiakan hidupmu.”

Betapa malangnya orang-orang yang harus menyadari hal ini. Karena ketika mereka akhirnya percaya pada mukzijat, saat-saat magis dalam hidup mereka telah berlalu.

Rasa putus asaku lenyap seketika dan aliran darah mengalir deras seakan tak terbendung hendak berkata kalau akulah sosok yang telah disebutkan. Tunggu apalagi?

Lima menit menuju subuh. Perlahan aku masih bertanya dalam diriku sendiri akan kejadian yang telah kualami. Ragu bercampur dengan keyakinan layaknya aku telah memenangkan suatu pertempuran namun aku tidak tahu jikalau pada saat itu perang sedang berlangsung. Ironis...

Aku membuka amplop tersebut dan ternyata isinya hanya sebuah kertas kosong. Aku tidak mengerti dan mencoba memeriksa kedalaman diameter amplop itu untuk memastikan keberadaannya.

Seketika itu aku pun merasa dipermainkan oleh sosok makhluk yang bernama Arya dan seketika itu juga aku berpikir apakah aku harus menuliskan sajak-sajak puisi ataupun lirik dari imajinasiku di dalam kertas kosong itu. Entahlah, yang pasti aku telah membuka amplop dan siap menerima segala resiko yang dihadapkan nantinya.

Saat kulamunkan pikiranku ke dalam sebuah objek, aku malah melamunkan suatu bayang yang belum jelas arahnya namun ingin sekali meraihnya. Sempat terlintas untuk mengimpikan apa yang sedang aku mimpikan layaknya film “Inception” yang diperankan oleh aktor kondang Leonardo di Caprio.

Akh, setelah kutelaah itu nantinya hanya akan membuang-buang waktu tanpa mendarat di pelabuhan yang sebenarnya menjadi tujuanku. Aku melangkah sesuai alur hidupku yang telah diatur oleh Tuhan.

Aku tidak menyesal membuka amplop yang berisi kertas kosong itu, aku siap membuka amplop-amplop lainnya.

Chitato beraroma Pocari telah berganti menjadi Capuccino, siang juga telah berganti menjadi malam. Aku sign-out dari halaman facebook dan twitter untuk segera menjelajahi mimpiku selanjutnya.

Sampai bertemu di kisah Chitato beraroma lainnya…..

Christian Moreys Nainggolan

14 Mei 2013

Sebuah kamar tumpangan

Jakarta

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline