Lihat ke Halaman Asli

100 % Kristen, 100% Indonesia: Sebuah Refleksi Pribadi tentang Soegija

Diperbarui: 25 Juni 2015   03:58

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hiburan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Segera setelah rapat usai , akhirnya saya bisa menghambur ke BlitzMegaplex. Kali ini keinginan untuk berleha-leha di Pojokan Depok ataupun bersantap malam dengan kolega harus ditepis: demi sebuah film berjudul Soegija.

Siapakah Soegija?

Lahir di Surakarta pada  pada 1896, Albertus Soegijaparanat atau yang dikenal dengan nama Soegija tumbuh dalam sebuah keluarga abdi dalem Kasunan Surakarta. Setelah menamatkan pendidikannya di serangkaian sekolah Belanda, Soegija mengikrarkan kaul setianya sebagai imam pada 22 September 1922. 18 tahun kemudian, Soegija diangkat menjadi Uskup pribumi pertama di Indonesia. (Wikipedia)

Sebuah pengangkatan yang tak biasa dan menarik perhatian media. Pada masa itu, posisi ini merupakan posisi yang cukup tinggi di kalangan pribumi. Dalam posisinya sebagai uskup inilah Garin Nugroho berusaha untuk memotret peran Soegija di era 1940-1951.

Bila kita mengintip sejumlah memoir dan catatan mengenai Soegija yang cukup banyak bertebaran di dunia maya, kita akan paham mengapa tokoh ini patut diabadikan dalam film berbiaya 12 miliar.  Garin berusaha memperlihatkan sejumlah pemikiran dan tindakan Soegija yang mememberi warna penting dalam konteks sejarah kebangsaan Indonesia. Melalui silent diplomacy-nya, Soegija berhasil mendapatkan perhatian media dan dunia luar yang berimplikasi pada dukungan terhadap kemerdekaan Indonesia. Soegija pun disebut-sebut sangat dekat dengan tokoh-tokoh kemerdekaan seperti Soekarno dan Hatta. (Jakarta Post, Mei 2012).

Sayangnya, ide besar nan luhur untuk mengangkat ketokohan Soegija bisa dibilang berserakan dalam beragam romansa melodrama yang, maaf, mengganggu jalan cerita. Film tersebut banyak diselingi oleh potongan adegan yang menurut saya pribadi tak terlalu penting.

Namunpun demikian, lahirnya film-film sejenis Soegija yang berani mengangkat ide-ide kebangsaan yang tidak mainstream layak dirayakan dan diberi penghargaan. Di tengah film-film Indonesia yang menjajakan kisah-kisah horror tak bermutu dan erotika picisan, kurasa film ini menjadi angin segar bagi penikmat film di Indonesia.

Sayapun salut untuk keberanian Garin dalam menggagas film dengan tokoh utama yang saya yakin, tak cukup umum di telinga masyarakat awam Indonesia. Saya pribadi baru mendengar nama Soegija karena besarnya promosi yang banyak disebar via kontak blackberry. Karena film inilah saya memaksa diri saya untuk mengunjungi laman-laman sejarah di beragam situs internet dan menaikkan syukur atas keberadaan seorang Katolik nasionalis seperti Soegija.

Laiknya tokoh-tokoh Kristen lainnya, keberadaan Soegija lagi-lagi mengingatkan saya bahwa orang-orang Kristen dan Katolik  serta kelompok minoritas lain bukanlah penumpang gelap di negeri ini. Orang-orang Kristen dan Katolik mungkin minor secara jumlah, namun itu tidak menjadi batasan bagi mereka untuk mengangkat suara, kata, dan tenaga lalu berbakti bagi Indonesia. Soegija kembali memberi contoh bagaimana memberi warna pada perjuangan berkebangsaan tanpa melepaskan rasa keimanan. Sebagai seorang Romo, jelas perjuangan Soegija dilakukan dalam koridor-koridor keagamaan yang kental.

Kentalnya keimanan dan kebangsaan tersebut tercermin pada pesan Soegija yang mendorong umat  untuk mencintai Indonesia karena mencintai gereja. “Seratur persen Katolik, seratus persen Indonesia,” menjadi semboyan Soegija yang saya kutip dan amini untuk saya pribadi. Bahwa dalam mengentaskan tugas saya sebagai warga negara, saya tak perlu menanggalkan jubah kepercayaan saya.

Ditengah maraknya aksi anarkis yang membonceng embel-embel keagamaan, semangat untuk membuang atribut keagamaan di ruang publik muncul dan menjadi wacana tersendiri. Tapi Soegija menjadi bukti bagi Indonesia bahwa gerakan-gerakan berkebangsaan di ruang publik tak melulu harus menanggalkan nilai-nilai keagamaan tersebut. Selama penerima manfaat tidak dibatas-batasi hanya dari kalangan tertentu, kemudian kebijakan yang ada tidak dipaksakan untuk didasarkan pada kepercayaan-kepercayaan tertentu, maka kita bisa menjadi diri sendiri. Kita bisa menjadi pembuat kebijakan publik tanpa harus menanggalkan identitas Keislaman, Kekristenan, ataupun keagamaan dan kepercayaan lainnya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline