Museum Fatahillah, museum sejarah Jakarta yang dibangun sebagai Balai Kota Batavia dan juga Kantor Dewan Pengadilan pada masa kolonial Belanda menjadi sebuah saksi bisu kekejaman yang dilakukan Bangsa Belanda terhadap Bangsa Indonesia. Salah satunya ialah Ruang penjara bawah tanah, ruang yang menjadi ikonik museum Fatahillah.
Bangsa Belanda menahan para tahanan dengan cara di pasung dengan bola besi seberat 40kg di dalam penjara bawah tanah sebelum akhirnya di eksekusi mati. Sekitar 83% dari total para tahanan meninggal di dalam ruangan ini karena ruangan yang kotor dan berpenyakit.
Hukuman mati dilaksanakan menggunakan pedang, pedang yang disebut atau dinamai dengan pedang keadilan. Pedang keadilan yang hanya digunakan setelah para tahanan mendapat keputusan dari pengadilan Batavia.
Pedang keadilan tersebut diabadikan di dalam museum sejarah Jakarta, Museum Fatahillah.
Pada saat eksekusi mati berlangsung, lonceng yang terdapat diatas menara/kappola gedung akan dibunyikan sebanyak tiga kali . Lonceng di bunyikan sebagai pertanda bahwa akan ada orang yang dihukum mati. Masyarakat Batavia yang tinggal disekitar balai kota akan berkumpul untuk menyaksikan eksekusi mati tersebut.
Eksekusi mati tidak hanya disaksikan oleh masyarakat. tetapi juga disaksikan oleh penggagas hukuman kejam tersebut, yaitu para Hakim dan Gubernur Jenderal. Para Hakim dan Gubernur Jenderal menyaksikan eksekusi mati tersebut di ruangan balkon, ruang balkon yang langsung tertuju ke tempat eksekusi tersebut dilakukan.
Selain Penjara Bawah tanah yang hanya dikhususkan untuk laki-laki, dan ruang balkon Lorong gelap juga menjadi saksi bisu kekejaman kolonial Belanda di Batavia . Lorong gelap adalah penjara untuk perempuan. Mereka para perempuan di penjara di dalam lorong gelap ini. Yakni ruangan yang berukuran panjang 9m, lebar 6m dan tinggi 120cm. Ruangan gelap gulita yang selalu tergenang air di saat musim hujan. Lorong gelap ini pernah menahan Cut Nyak Dien hingga sebelum ia akhirnya diasingkan ke daerah Sumedang.