Lihat ke Halaman Asli

Monica Lung

Ibu rumah tangga yang bekerja

Ibu Bekerja Sering Lupa Keluarga, Apakah Wajar?

Diperbarui: 20 November 2023   12:43

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

Tidak terasa ternyata saya sudah mulai aktif bekerja lagi sebagai karyawan swasta dalam 2 tahun terakhir. Menyadari kenaikan biaya hidup yang tidak selaras dengan kenaikan pendapatan, membuat suami dan saya memutuskan untuk merelakan sebagian besar waktu dan tenaga saya ke perusahaan, bukan keluarga.

Kesibukan dan dateline harian yang ga ada habisnya, dipadukan dengan macet panjang yang rasanya tiada akhir, dan waktu yang cukup panjang untuk memulai perjalanan dari rumah  ke kantor dan sebaliknya menjadi racikan pas untuk membuat kita tidak menyadari perubahan yang sudah terjadi di lingkungan terdekat kita, terutama keluarga inti. 

Berangkat saat masih gelap dan pulang saat sudah gelap. Tersisa waktu 2 jam untuk keluarga, melihat kakak dan adik sudah mulai mengantuk, saya pun masih harus bersih-bersih. Untuk sekedar bertanya "Bagaimana harimu di sekolah, kak? hari ini belajar apa?" atau "gimana di kantor hari ini, mas?" energi saya sudah terkuras habis ibarat jika bermain games HP saya sudah hampir 0%. 

Sehari, dua hari, seminggu, sebulan, dan tiba-tiba sudah setahun keadaan seperti itu berlangsung. 

Apakah hal ini hanya dialami oleh saya saja? atau apakah ada ibu pekerja lain yang mengalaminya? Rasanya ingin mencoba mencari komunitas ibu-ibu pekerja yang mengalami hal serupa untuk saling menguatkan. Ya tapi ujung-ujungnya saat sudah ada niat dan tekad, dateline pekerjaan terus menumpuk dan akhirnya terlupa lagi. 

Sampai suatu ketika saat iseng scroll instagram dan ga sengaja nonton trailer "daily dose of sunshine", yang pada akhirnya keterusan nonton episodenya sih hehehe. Saya merasa cerita ada di drama itu sangat familiar dengan diri saya sendiri. Terutama di episode 5 "Saat Hidup Memberitahumu untuk Melambat" , saya menangis dan "kena" banget messagenya, dan gejala pseudodementia yang juga saya alami. 

Pseudodementia (atau dikenal sebagai disfungsi kognitif terkait depresi ) adalah suatu kondisi di mana kognisi mental dapat menurun untuk sementara. Istilah pseudodemensia diterapkan pada berbagai kondisi kejiwaan fungsional seperti depresi , skizofrenia , dan histeria yang mungkin menyerupai demensia organik , tetapi pada dasarnya dapat disembuhkan jika diobati. Pseudodementia biasanya melibatkan tiga komponen kognitif: masalah memori, defisit dalam fungsi eksekutif , dan defisit dalam bicara dan bahasa. 

Gejala kognitif spesifik mungkin termasuk kesulitan mengingat kata-kata atau mengingat hal-hal secara umum, penurunan kontrol perhatian dan konsentrasi, kesulitan menyelesaikan tugas atau mengambil keputusan, penurunan kecepatan dan kelancaran berbicara, dan gangguan kecepatan pemrosesan . Orang dengan pseudodemensia biasanya sangat tertekan dengan gangguan kognitif yang mereka alami. Dengan kondisi ini, ada dua pengobatan khusus yang terbukti efektif untuk pengobatan depresi, dan pengobatan ini mungkin juga bermanfaat dalam pengobatan pseudodemensia. Terapi perilaku kognitif (CBT) melibatkan eksplorasi dan perubahan pola pikir dan perilaku untuk meningkatkan suasana hati seseorang. Terapi interpersonal berfokus pada eksplorasi hubungan individu dan mengidentifikasi cara-cara yang mungkin berkontribusi terhadap perasaan depresi. (https://en.wikipedia.org/wiki/Pseudodementia)

Oh pantesan, saya suka lupa taruh remot, handphone, padahal baru saja saya letakkan di meja. Jadi, ternyata dalam setahun ini saya mengalami gejala depresi yang tidak saya ketahui. Solusi di drama tersebut, menulis autobiography diri sendiri dan menandakan dititik/bagian mana merasa paling sedih atau negatif. Kalau saya, menulis di blog ini untuk membantu saya terapi. 

Benar jika melambat sebentar untuk melihat sekitar dan tidak terlalu fokus untuk terus melaju ke depan, membuat saya menjadi semakin fokus, dan menyadari apa yang penting di hidup saya dan semakin bersyukur dengan semua yang sudah diberikan oleh semesta dan Yang Maha Kuasa.

Membuat saya sadar jika tidak perfeksionis juga tidak apa, sadar jika tidak terlalu ambisius juga tidak apa, sakit dan cuti pun tidak Tidak apa untuk membahagiakan diri sendiri karena itu tidak salah dan tidak merugikan diri sendiri. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline