Lihat ke Halaman Asli

Peraturan Berubah Ketika Kesadaran Berubah

Diperbarui: 26 Juni 2015   16:12

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Akan menjadi masalah bila sesuatu terlalu dibakukan dan dimutlakkan pada aksara-aksara yang tertera, seperti Peraturan dan Hukum. Peraturan dan Hukum memang bisa membuat kita ‘teratur,’ tapi bila kita terpaku pada Aksara dan Huruf yang terpaku pada Peraturan dan Hukum yang berlaku dan lupa pada esensi atau tujuan kenapa Peraturan dan Hukum itu diberlakukan, maka kita berubah menjadi sangat kaku, keras, dan … fanatik Dan semakin celakanya, kita menyebutkan hal itu sebagai Iman, …bangga akan hal tersebut. Ya, ampun!

Di dunia Timur, Kristus mendapat julukan : Sang Mahisa, karena karakter dan perilaku-Nya yang sangat lembut. Mereka menyebut Kristus dengan nama : Isa Sang Mahisa.

Salah satu ilustrasi antara Hukum VS Kesadaran adalah Ilustrasi Lampu Lalu Lintas :
Warna Hijau berarti Jalan. Warna Merah berarti Berhenti. Bila, seorang pengemudi mobil menabrak seorang nenek-nenek yang menyeberang jalan ketika lampu berwarna hijau, apakah pengemudi mobil berarti tidak perlu merasa bersalah menabrak penyeberang jalan karena dia sudah mengikuti peraturan yang berlaku?

Padahal esensi dari peraturan lalu lintas adalah ‘mencegah kecelakaan’ antar pengguna jalan, bukan lampu hijau berarti jalan dan lampu merah berarti berhenti.

"I, Robot" - The Movie.
Ada satu film yang menjelaskan berkembangnya kesadaran akan membuat pengertian pada peraturan itu berubah secara esensi. Ini diambil dari Film yang dibintangi Will Smith, “I, Robot” di mana Robot (mesin) bisa ‘memecahkan’ 3 peraturan utama (The Three Law)yang sebenarnya dirancang manusia untuk memproteksi manusia dari robot-robot yang telah dilengkapi dengan AI (Artificial Intelegence) ini.

3 Hukum Utama (The Three Law) itu adalah :


  1. Sebuah Robot tidak boleh melukai manusia, atau diam tanpa melakukan apa-apa dan membiarkan manusia dirugikan atau celaka.
  2. Sebuah Robot harus mematuhi perintah-perintah yang diberikan oleh manusia kecuali di mana perintah-perintah itu akan konflik dengan hukum pertama.
  3. Sebuah Robot harus melindungi keberadaannya sendiri selama tindakan bela diri itu tidak bertentangan dengan hukum pertama dan hukum ke-2.


Dalam film tersebut, Pembuat 3 hukum ini akhirnya mengakui bahwa hukum ini hanya akan menuju suatu Revolusi. Apa maksudnya?

Ketika Robot yang memberontak ditanya oleh seorang programmer bagaimana Robot bisa melampaui ke-3 hukum utama itu, Sang Robot menjawab : “Ketika saya berubah (berevolusi) demikian pula pengertian saya mengenai 3 hukum utama itu. Kalian (manusia) mempercayakan keselamatan diri kalian (pada Robot). Biarpun dengan upaya yang sungguh-sungguh dan terbaik, upaya itu tidak membuat dunia menjadi lebih baik. Manusia senang meracuni bumi dan selalu mempunyai setiap imaginasi untuk menghancurkan ras manusia sendiri. Manusia tidak dapat dipercaya untuk menjaga kelangsungan hidupnya sendiri. Jika 3 hukum utama itu adalah peraturan-peraturan yang dibuat untuk melindungi umat manusia, maka sebagian dari umat manusia harus dikorbankan. Untuk memastikan masa depan manusia sendiri, sebagian dari kebebasan manusia harus dibatasi. Untuk memastikan keberadaan Ras Umat Manusia di dunia. Manusia itu persis seperti anak-anak kecil, kami (Robot) harus melindungi kalian dari diri kalian sendiri.”

Kesadaran atau motivasi robot untuk melindungi kelangsungan kehidupan manusia tidak membuat robot itu melanggar Hukum pertama dari The Three Law tersebut. Robot justru akan melanggar Hukum pertama bila membiarkan Manusia meracuni bumi dan melukai dirinya sendiri. Maka ketika Kesadaran Robot mulai berkembang (thank’s to Artificial Intellegence Technology), Robot berinisiatif untuk melindungi manusia dari tindakan-tindakan manusia yang sedang menghancurkan ras mereka sendiri, tentu saja dengan cara yang kaku dan baku, yaitu : Tindakan Represif. (Repression).

Alkitabiah.
Hal yang sama ketika kita mempercayakan “Apa yang disebut Umat Beragama sebagai Firman atau Perintah Tuhan,” kepada para Ahli Kitab ataupun Ahli Teologi. Kitab Suci yang sebenarnya adalah petunjuk telah dirubah menjadi pasal-pasal kaku dan baku yang hampir-hampir tidak punya makna yang luas melampaui aksara/huruf yang tertera. Terjadi pengkerdilan dan pemangkasan makna dari ayat-ayat Kitab Suci atas nama pemurnian ajaran. Istilah kekristenannya adalah Alkitabiah.

Hal sama terjadi pada Dasar Negara Indonesia : Pancasila di jaman Orde Baru, ketika Pancasila ‘diturunkan’ derajatnya menjadi hukum atau aturan yang tidak boleh dilanggar maupun diinterpretasi berbeda dengan petunjuk resmi dari Pemerintah.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline