Lihat ke Halaman Asli

Catatan Perjalanan di Jerman (Part 1)

Diperbarui: 20 Juni 2015   03:21

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tujuan utama kunjungan ke Jerman tanggal 3-11 Mei 2014 lalu adalah untuk melihat bagaimana aplikasi Hak Asasi Manusia dalam kerangka integrasi bangsa dan agama. Tapi itu tidak menjadi alasan untuk tidak melihat hal lain di luar itu sebagai sesuatu yang tidak menarik. Meski hanya sekilas dan sebagai selingan semata, unsur-unsur kebudayaan tetap menjadi sebuah magnet yang membuat kami sulit melupakan Jerman. Untuk memudahkan penulisan, saya mengemas tulisan ini dalam bentuk catatan perjalanan.

1.Kilas Sejarah Jerman

Setelah perang dunia II,negara Jerman telah dibagi menjadi beberapa zona pendudukan. Selain itu, perang dinginmenyebabkan Perancis, Britania Raya dan Amerika Serikat menggabungkan zona-zona mereka kedalam Republik Federal jerman (Berlin Barat) pada 1947. Sementara Soviet masuk ke Republik Demokratik Jerman (Berlin Timur). Jerman Barat dan Jerman Timur sama-sama mengklaim sebagai pengganti sah bagi penduduk kerajaan jerman yang lama (Deutsches Reich).

Pada perundingan postdam tanggal 2 agustus 1945 Jerman di bagi menjadi 2:

a.Jerman Barat dengan Ibukota di Bonn, yang dikuasai Amerika Serikat, Inggris, dan Perancis. Blok Barat ini menganut paham liberal-kapitalis.

b.Jerman timur dengan ibukota di Berlin timur yang dikuasai oleh Uni Soviet. Blok timur menganut paham sosialis komunis.

Secara umum, perkembangan Jerman Barat dan Jerman Timur memiliki perbedaan yang signifikan. Jerman Barat yang liberal kapitalis jauh lebih makmur dari sisi ekonomi dan lebih bebas dari sisi politik dari Jerman Timur. Hal ini menjadi salah satu faktor yang membuat warga Jerman Timur banyak yang melarikan diri ke Jerman Barat. Selain itu, kerinduan penduduk Jerman Barat dan Jerman dan Timur akan persatuan juga menjadi salah satu motivasi persatuan atau reunifikasi negara Jerman. Pada tanggal 3 Oktober 1990 reunifikasi atau penyatuan Jerman Barat dan Jerman Timur pun terjadi. Jutaan warga Jerman tumpah di perbatasan kedua Negara dan menyerukan persatuan. Selanjutnya enam hari berikutnya tembok Berlin yang selama ini memisahkan kedua Negara tersebut segera dirobohkan. Saat ini yang tersisa hanya sebuah gerbang besar. Namanya Brandenburger Tor (Brandenburg Gate), didirikan abad 18. Monumen ini menjulang dengan tinggi kurang lebih 26 meter dan ditopang oleh enam pilar besar, di puncak monumen terdapat patung sang Dewa Kemenangan yang sedang mengendarai kereta. Dalam film Good Bye, Lenin! Kita bisa sedikit melihat sebuah sudut pandang mengenai reunifikasi Jerman ini.

2.Wisata Kuliner di Jerman

Makanan di Jerman tentu saja berbeda jauh dengan di Indonesia, mulai dari jenis, menu, dan juga rempah-rempah yang digunakan. Untuk pembahasan tentang makanan ini, saya akan mengklasifikasi berdasarkan hari agar lebih mudah mengingatnya. Di hari pertama, saat kami pertama kali menginjakkan kaki di Bandara Stuttgart, makanan khas yang kami coba adalah roti khas Jerman yang dibawa oleh Pak Jan, rasanya relatif asin tapi enak, buktinya semua peserta menghabiskan semua roti tersebut.

Makan siang kami yang pertama di Jerman adalah di salah satu restoran di kawasan Heidelberg. Menu yang kami pesan beragam, mulai dari roti keju, roti (yang seperti) dicampur cabe ijo, salad dengan kentang dan sop, dan yang lainnya. Semua makanan disajikan dalam porsi besar. Kalau di Indonesia cukup untuk beberapa orang. Di sini semua gembira, terutama seorang peserta dari Padang yang terpaksa harus menghabiskan dua porsi makanan karena peserta dari Aceh tidak bisa memakan roti keju parmesan yang dia pesan dan memilih menghabiskan pesanan peserta yang lain. Di sini juga untuk pertama kalinya kami mencoba buah zaitun. Buah para nabi yang namanya sudah sangat familiar di Indonesia sebagai salah satu buah penghasil minyak untuk kosmetik. Bentuknya kecil seperti melinjo tapi lebih lembut dengan rasa yang sedikit getir.

Saat makan malam, kami sudah berada di Karlsruhe, sebuah kota kecil yang terkenal juga dengan kota hukum, karena di tempat ini terdapat Mahkamah Konstitusi Federal Jerman. Kami makan malam di sebuah restoran yang tidak jauh dari hotel tempat kami menginap. Pemilihan hotel ini unik. Jadi ceritanya, di sore hari, saat kami datang ke kota ini setelah dari Heidelberg, di tengah perjalanan ada peserta yang bertanya kepada Pak Jan, “Itu, gedung apa, Pak”Saat itu Pak Jan bilang tidak tahu, karena beliau juga tidak terlalu sering ke Karlsruhe jadi belum banyak tahu tentang kota itu. Dan ternyata saat peserta sudah beristirahat di hotel sambil menunggu jam makan malam, Pak Jan mencari tahu tentang tempat yang tadi ditanyakan peserta. Tempat itu adalah sebuah restoran yang akhirnya dipilih sebagai tempat makan malam untuk kami, mungkin agar kami tidak penasaran. Danke Pak Jan.

Menu makan malam malam pertama kali adalah asparagus. Ini untuk pertama kalinya saya makan asparagus putih utuh. Hanya direbus dan disiram krim lalu dimakan dengan kentang. Sebelumnya, saya beberapa kali makan asparagus di Indonesia, tapi biasanya sayuran mahal ini sudah dipotong kecil-kecil dan dicampur daging serta bahan lain, sehingga rasa dan bau asparagusnya tidak terlalu kuat. Asparagus ini spesial, karena hanya ada di bulan tertentu di Jerman (biasanya April dan Mei). Sayuran ini benar-benar baik untuk kesehatan. Terutama untuk pencernaan.

Di hari kedua, berbagai macam makanan tersedia di restoran hotel untuk sarapan. Jangan bayangkan ada nasi goreng atau bubur ayam, karena ternyata tidak ada. Yang tersedia adalah berbagai macam roti, sereal, kentang goreng, aneka jenis telur, serta berbagai macam minuman. Di hari kedua ini, karena kondisi fisik yang drop, saya hampir tidak menikmati makanan yang rasanya pasti sangat lezat jika dikonsumsi dalam keadaan sehat. Siang hari, setelah acara pertemuan dengan perwakilan muslim Kristen dan perwakilan kantor kebudayaan Karlsruhe, peserta menikmati aneka menu makan siang, seperti terong bakar campur krim dan paprika dengan roti, salmon segar dengan krim dan roti, dan lain sebagainya yang disajikan kecil-kecil sehingga peserta bisa langsung ambil dan makan sambil ngobrol. Sayangnya, saya tidak tahu rasa makanan ini karena tidak berani mencicipi, mengingat asam lambung yang sangat tinggi sejak pagi sehingga seluruh makanan yang masuk selalu mendesak ingin keluar kembali.

Di hari ketiga, di Kota Heidelberg, kami ternyata diajak ke restoran Asia, tepatnya restoran Vietnam saat jam makan siang. Para peserta memesan berbagai macam makanan asia mulai dari mie rebus, mie goreng, dan nasi goreng. Rasanya seperti orang yang akan berbuka puasa. Nikmat. Selanjutnya, sekitar pukul 22.00 kami makan malam di restoran Hotel di Berlin. Saya pesan ikan, rasanya enak meski rempahnya seadanya. Yang lain ada yang memesan pipi sapi yang dibakar dengan bir hitam dan ada pula yang memesan kambing bakar. Bisa dibilang kambing bakar ini adalah menu favorit saat di hotel ini, meski harganya mahal, sekitar 27 Euro, tapi setiap hari ada saja peserta yang memesan makanan ini. Setelah saya coba, rasanya memang dekat dengan lidah Indonesia. Enak.

Hari keempat, seperti biasa, kami sarapan di hotel. Di jam makan siang, kami dijamu di kantor KAS. Kami makan siang sambil berdiskusi. Menunya adalah asparagus putih utuh dengan krim, kentang, dan salad. Rasanya tentu akan sangat enak jika kita suka. Apalagi tampilannya juga sangat elegan dan berkelas. Mengingatkan saya pada masakan ala chef-chef di resto internasional yang biasa wara wiri di televisi.

Setelah berbagai aktifitas yang cukup menguras energi, yang paling menyenangkan adalah, saat makan malam kami diajak ke restoran Asia lagi. Kali ini sepertinya restoran China. Sesuai kebiasaan di restoran China, makanan dikeluarkan sedikit demi sedikit, para peserta mencicipi makanan di meja yang berputar. Ada ayam, ikan, udang, jamur, dan lain sebagainya. Ada asparagus juga, tetapi asparagus hijau yang dimasak dengan cara ditumis. Rasanya tentu saja sangat pas dengan lidah Asia. Meski senang bertemu dengan nasi, saya sengaja mengambil nasi putih sedikit saja agar tidak terlalu kenyang dan nantinya bisa mencoba berbagai jenis lauk yang tersaji. Kawan-kawan yang lainnya terlihat melakukan hal yang sama. Hanya Pak Jan saja yang saya lihat terus menerus mengambil nasi putih dengan sedikit lauk. Awalnya saya juga bingung, tapi di akhir sesi makan malam, Pak Jan sendiri yang menjelaskan, bahwa dari aneka makanan yang disajikan saat itu, yang paling dia suka adalah nasi putih. Hehe…

Di hari kelima, sebelum bertemu dengan duta besar RI untuk Jerman, Fauzi Bowo, kami makan siang di restoran India. Menu yang dipesan agak asing, sejenis kari tapi lebih kental. Nasinya besar-besar dan agak ‘pera’ kalau kata orang jawa. Sayang, tidak ada yang mengambil gambar saat di tempat ini. Malamnya, kami kembali makan malam di hotel.

Hari keenam, setelah jalan-jalan dan membeli cenderamata, kami makan siang di sebuah restoran Austria. Saya pesan ayam fillet yang diberi tepung dengan porsi kecil. Tetap saja meskipun judulnya porsi kecil, yang nongol adalah ayam dengan ukuran piring besar. Malamnya, seperti biasa, makan malam di hotel.

Hari ketujuh, bisa dibilang merupakan hari yang paling menyenangkan. Karena ini adalah hari bebas. Ditemani Pak Syafik dan Mbak Diah, sahabat baik dari Pak Irfan, kami makan siang di Arredaa, sebuah restoran Lebanon. Kami pesan paket nasi dengan daging dan lalap. Nasi putihnya unik, karena selain ukurannya besar-besar, makannya dicampur dengan butter. Rasanya jadi gurih meski tidak segurih nasi uduk. Hehe…untuk porsi, seperti biasa, besar. Malamnya, kami makan malam terakhir di hotel.

Di hari terakhir, kami sarapan dan makan siang dihotel dengan menu yang sudah cukup familiar. Kambing bakar masih menjadi favorit.

Untuk minuman, di hotel kami biasa minum air keran saat di kamar. Juga saat sedang jalan-jalan. Jika sedang berjalan-jalan dan haus, tinggal cari toilet dan minum dari wastafel. Airnya bersih dan sehat. Yang lebih penting gratis. Hehe… Saat makan, menu minuman yang dipesan tentu saja variatif, mulai dari kopi, teh (cammomile, green tea, black tea, dll), air putih bersoda, cappuccino, mochacino, wine, dan lain sebagainya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline