Pentingnya Dokumentasi Sejarah, Belajar dari Steven Spielberg
Mei lalu saat saya datang ke Israel, saya janjian ketemu dengan Direktur Steven Spielberg Jewish Film Archive di Hebrew University di Mt. Scopus, Yerusalem. Memasuki kawasan kampus, ada pemeriksaan keamanan standar dan saya cukup menunjukkan email dari orang yang ingin saya temui. Setelah tanya sana-sini akhirnya sampe juga di tempat yang saya pengen banget datang.
Karena tau saya datang dari jauh, saya diperbolehkan masuk ke ruang penyimpanan film yang diatur sedemikian rupa agar tidak debu, tidak jamuran dengan suhu ruangan yang dinginnya stabil agar film tidak rusak serta bebas manusia. Saat pulang, saya dikasih satu poster film pertama yang mereka miliki. Wah, happy banget. Untungnya saya bawa oleh-oleh pigura batik untuk si ibu yang baik ini sehingga bisa tukeran cendera mata.
Pusat Dokumentasi Film Yahudi Steven Spielberg berdiri pada akhir tahun 1960 oleh Profesor Moshe Davis dan sejarawan lain dari Hebrew University di Yerusalem. Donatur pertama adalah pengusaha Iran-Yahudi Abraham F. Rad. Pada tahun 1987, pembuat film top asal Amerika Steven Spielberg memberikan donasi sangat banyak dan setelah itu Pusat Dokumentasi Film ini berganti nama menjadi Steven Spielberg Jewish Film Archive.
Bayangkan ya ada sekitar 18 ribu judul film yang terdiri dari 4500 rol film dan 9000 video. Ada 53 ribu rekaman testimoni yang berasal dari 62 negara dalam 39 bahasa. Untuk ngurusin arsip film ternyata cuma dilakukan oleh tiga orang saja, efisien banget. Saat terlibat di institusi ini, Steven Spielberg mulai mengumpulkan dokumentasi, merekam dan merawat video atau film terkait Holocaust.
Paling tidak ada 1000 jam lebih footage dari tahun 1920 hingga 1948 tentang sejarah awal perang Jerman hingga pengadilan terhadap para penjahat Nazi dari institusi ini yang bisa diakses oleh Museum Holocaust di Washington DC. Inilah hebatnya Steven Spielberg. Sebagai filmmaker, Steven Spielberg menggunakan kehebatannya untuk memproduksi dokumentasi film sejarah bangsanya sebagai arsip.
Di situlah saya merasa kagum sekali pada kegigihan orang Yahudi untuk melawan lupa. Dari sisi sejarah, mereka adalah korban dan penyintas (survivors) yang berhasil bangkit dari keterpurukan pasca perang. Alih-alih marah pada dunia yang diam ketika jutaan orang Yahudi dipersekusi dan diseret ke kamar gas, orang Yahudi justru menuliskan sejarah mereka melalui foto, tulisan dan film agar keturunan mereka mengetahui sejarah masa lalu dan juga agar dunia tahu apa yang terjadi pada mereka sebagai bangsa.
Hingga hari ini, saban tahun pasti akan selalu ada buku baru, film baru atau sekadar informasi guna mengenang Holocaust dan sejarah bangsa Yahudi. Tradisi tulis yang kuat bisa jadi membuat mereka terbiasa dengan dokumentasi tulisan. Seiring dengan kemajuan teknologi ditambah dengan dokumentasi foto dan video.
Lalu bagaimana dengan korban '65, Kurdistan dan Rohingya? Dapatkah mereka bersuara mengenai penderitaan mereka melakui dokumentasi tulisan, foto dan video? Akankah generasi mereka kehilangan jejak dan kisah masa lalu karena ada kekuasaan yang membungkam mereka? Mungkin saya salah mengatakan ini, namun sesungguhnya orang Yahudi "beruntung" bisa memiliki dokumentasi yang memadai guna membuktikan penganiayaan yang mereka alami.
Bayangin ya, dengan dokumentasi segudang ini saja masih banyak kaum terdidik yang tidak mengakui Holocaust terjadi kok, gimana kalo ngga ada dokumentasi satu pun? Kalo di bawah ke konteks Indonesia, gimana generasi pasca '65 bisa mengetahui kejadian sebenarnya dari Peristiwa '65 jika ada pembatasan untuk mengakses dokumentasi seperti yang saya alami. Tanpa fakta sejarah, maka tak akan ada kebenaran []
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H