Lihat ke Halaman Asli

Monique Rijkers

TERVERIFIKASI

Hikmah Holocaust untuk Peristiwa 65

Diperbarui: 4 Mei 2016   11:53

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kamp Konsentrasi Birkenau, Polandia. Foto: Gerry Rijkers

Kali ini saya ingin menulis tentang Holocaust, peristiwa pembunuhan berencana yang dilakukan oleh Nazi pada tahun 1939 hingga 1945 terhadap sekitar enam juta orang Yahudi. Indonesia yang memiliki sejarah gelap pada peristiwa ’65 sesungguhnya dapat menarik pelajaran sikap negara-negara yang berkenaan dengan Holocaust. Memang kedua peristiwa tidak sama persis namun kita dapat mencontoh pengalaman pasca Holocaust itu.

Sejauh ini, Kanselir Jerman Angela Merkel telah meminta maaf atas Holocaust yang disampaikan pada tahun 2007 di depan Majelis Umum PBB. Permintaan maaf itu kembali diulang Merkel saat berkunjung ke Knesset (Parlemen Israel) tahun 2008. Permintaan maaf Merkel tentu tak akan membuat para penyintas dan keluarga mereka melupakan tragedi kemanusiaan tersebut. Namun kesalahan yang dilakukan oleh Nazi, sebuah partai yang ada di Jerman dan akhirnya melibatkan banyak warga Jerman membuat Merkel mengakui kesalahan itu dan meminta maaf. Kebesaran jiwa Merkel membuat ia mendapat Penghargaan Perdamaian Seoul pada tahun 2014.

fullsizerender-57-572950ad2e97734e05a1a284.jpg

Jewish Tour di Praha. Foto: Monique Rijkers.

Selain Jerman, yang meminta maaf atas tragedi Holocaust adalah Norwegia. Pada 1998, Norwegia membayar ganti rugi sebesar 60 juta dolar AS kepada para korban dan organisasi Yahudi sebagai ganti properti yang disita pada Perang Dunia II. Saat itu sekitar 2000 orang Yahudi di Norwegia didaftar untuk dideportasi dan berakhir dengan kematian di kamp konsentrasi. Permintaan maaf resmi baru disampaikan pada tahun 2012 oleh Perdana Menteri Norwegia Jens Stoltenberg.

Selain permintaan maaf, mengakui sebuah peristiwa itu ada sudah sangat cukup. Alih-alih mendebat kebenaran peristiwa Holocaust, seperti yang pernah dilakukan Yasser Arafat lewat skripsinya, pengakuan akan kebiadaban Holocaust justru disampaikan oleh Iran. Iran adalah negara yang pernah sesumbar ingin menghilangkan Israel dari peta dunia namun Iran mengakui Holocaust itu ada. Mengutip Deutsche Welle (Jerman), Menlu Iran Javad Zarif mengecam pembunuhan warga Yahudi oleh rezim Nazi selama Perang Dunia II. Dalam wawancara di Berlin dengan televisi Jerman Phoenix, Zarif mengatakan, "Ini adalah tragedi pembunuhan yang mengerikan, hal ini tidak boleh terulang lagi."

fullsizerender-58-572950fc187b615205403c2e.jpg

Museum di Birkenau, Polandia. Foto: Monique Rijkers

Jika Jerman dapat mengakui dan akhirnya meminta maaf atas Holocaust, lalu apa yang membuat Indonesia sulit mengakui dan meminta maaf atas peristiwa ’65? Ini merupakan permintaan maaf kepada bangsa sendiri bukan seperti Jerman kepada orang Yahudi yang berbeda ras, bangsa dan negara, yang mungkin lebih sukar untuk dilakukan. Jika kita pernah membaca berita Gus Dur meminta maaf pada korban G30S, hal ini disampaikan tidak dalam forum resmi. Permintaan maaf Gus Dur itu disampaikan pada tahun 1999 saat bertemu Pramoedya Ananta Toer, yang pernah menjadi tahanan politik G30S.

Jika dianggap kedua tokoh itu telah mewakili kelompok masing-masing, maka persoalan memang hanya 'clear' di antara dua kelompok ini saja meski belum memuaskan karena mereka yang terlibat pembunuhan, jika masih ada belum dituntut untuk bertanggung jawab secara hukum. Permintaan maaf Gus Dur kepada Pram mungkin hanya merepresentasikan dua kelompok semata dan belum mencapai kelompok lain. Namun permintaan maaf Gus Dur telah menciptakan sebuah peluang rekonsiliasi karena Gus Dur bisa dianggap mewakili NU yang disebut-sebut menjadi bagian dari peristiwa “65 (dan ’48). Jika Jerman membutuhkan Merkel untuk meminta maaf atas Holocaust, mungkin Indonesia membutuhkan (Presiden) Ahok yang blak-blakan untuk meminta maaf atas ’65 5-10 tahun mendatang.

Kembali ke soal Holocaust, menyelesaikan secara hukum merupakan langkah penting yang diambil pasca Holocaust. Sejumlah lembaga dan penyintas Holocaust (survivors) menjadi pemburu para eksekutor dan pengambil kebijakan saat Holocaust berlangsung. Tak pandang bulu, semua yang terkait Nazi dan para kolaborator (orang yang bekerja sama dengan Nazi) diseret ke pengadilan. Proses hukum tentu menjadi sebuah pilihan mutlak yang harus dilakukan. Memasuki 71 tahun pasca pembebasan Auschwitz-Birkenau, kamp konsentrasi terbesar yang dibangun Nazi, persidangan terhadap mereka yang terlibat Holocaust terus dilakukan.

Januari 2016 yang lalu diberitakan seorang Jerman berusia 95 tahun (bayangkan sudah 95 tahun pun masih diburu) akan menghadapi persidangan atas tindakannya sebagai asisten medis di Auschwitz, Polandia. Ia diduga terlibat dalam membunuh 3,681 orang Yahudi pada tahun 1944. Persidangan pertama pasca Holocaust dilakukan segera yaitu pada November 1945 di Nuremberg, Jerman (ini juga dilakukan oleh Orde Baru dengan menyidangkan sejumlah pelaku G30S). Ketika itu Pengadilan Militer Internasional menghukum 22 petinggi Nazi sebagai penjahat perang, 12 di antaranya dihukum mati. Sebuah pernyataan heroik dilakukan dengan memilih sebuah kota di Jerman sebagai tempat persidangan. Hakim berasal dari negara sekutu seperti Inggris, Perancis, Uni Soviet dan Amerika Serikat. Setelah itu, beberapa persidangan dilakukan di Israel.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline