Sumber: jejakislam.net
Ketidakmampuan menghadapi sejarah bangsa sendiri melekat begitu kuat pada era pemerintahan dua presiden terakhir di Indonesia. Kesimpulan ini saya ambil berdasarkan kenyataan yang terlihat dan terdengar ketika muncul topik tentang “Peristiwa ‘65”. Bagi pemerintah, topik ini harus dilupakan, tak perlu diingat-ingat lagi, apalagi jika harus meminta maaf dan merehabilitasi nama baik korban dan keluarga mereka. Tentu melupakan adalah sesuatu yang mustahil bagi mereka yang kehilangan ayah, ibu, anak dan sanak saudara akibat label 'Komunis’.
Pengalaman Liputan Tahun 2014
Sekitar awal September 2014, ketika saya masih bekerja sebagai wartawan di sebuah TV di Jakarta, saya ingin membuat video tentang ’65. Ketika itu saya mengambil kisah dari sisi Nahdlatul Ulama sebagai bagian dari sejarah masa itu. Dalam benak saya, judulnya kira-kira, “Para Kiai NU Menulis Sejarah ’48 dan ‘65”. Saya sangat yakin, apa yang saya kerjakan ini bukan sesuatu yang baru dan luar biasa. Yang tak biasa justru adalah pengalaman ketika saya ingin mendapatkan dokumentasi terkait NU di Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI).
Sebenarnya saya memulai riset dan pengumpulan bahan di Perpustakaan PBNU di Jalan Kramat Raya, Jakarta. Namun bahan-bahan yang saya butuhkan sangat minim. Menurut informasi dari pustakawan, sebagian besar bahan-bahan milik NU sudah diberikan kepada ANRI untuk disimpan. Dengan semangat, saya meminta akses dokumentasi NU tersebut. Oleh petugas ANRI dikatakan saya harus membawa surat dari PBNU. Pihak PBNU sangat terbuka pada peliputan ini dan segera membuatkan sebuah surat pengantar agar saya bisa mengakses dokumentasi NU tersebut.
Surat Pengantar Dari PBNU (Sumber: Monique Rijkers)
Meski membawa surat pengantar dari PBNU yang ditembuskan kepada beberapa pihak internal, toh saya tak berhasil mengakses satupun dokumentasi NU. Rupanya seluruh dokumentasi NU tertutup untuk publik, apalagi untuk wartawan. Petugas di ANRI yang menerima surat saya mengatakan, “Data sedang kami proses, sampai tahun depan tidak bisa diakses.” Saya mencoba membujuk dengan meminta izin akses pada beberapa lembar dokumen saja, akhirnya muncul juga kalimat sakti itu.
“Harus minta izin sama T**," ucap petugas.
“T** yang mana? Siapa?” cecar saya.
“Ya bikin surat aja dulu,” menyudahi percakapan kami.
Itu kali kedua saya datang ke ANRI. Saya pun kembali ke PBNU di hari lain dan menyampaikan kegagalan saya kepada pustakawan. Dengan tenang, ia menjawab, “Kami pun ngga bisa kok, Mbak. Wong mau pinjem untuk pake pameran juga ngga boleh.”
Saya belum kembali lagi ke ANRI sejak itu karena saya sudah tak lagi memegang program sejarah tersebut. Namun dari pengalaman ini, tentu menjadi pertanyaan, apakah memang untuk mendapatkan dokumentasi milik PBNU harus meminta izin dari T** dulu? Bukankah ada Undang-undang No. 14 tahun 2008, tentang Keterbukaan Informasi Publik? Lagipula, bukankah menarik untuk menelusuri catatan-catatan tua, membuka lembaran koran lusuh serta mendengar rekaman kesaksian demi kesaksian para pelaku sejarah? Justru melalui penelusuran sejarah inilah kita tak alergi dengan kebenaran. Meski pedih, pelurusan sejarah 'Peristiwa "65' tentulah harus menjadi bagian dari pemerintahan Presiden Jokowi. Inilah kesempatan terbaik membalut luka dan semoga (kita semua) cepat sembuh. []
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H