Lihat ke Halaman Asli

Monique Rijkers

TERVERIFIKASI

Napi Kasus Terorisme dan Radikalisasi dalam Lapas

Diperbarui: 19 Januari 2016   15:53

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 

Ilustrasi - Narapidana berada di balik jeruji tahanan. (Kompas.com)

Bagi Agus Toyib, pengalaman terburuknya ketika menjadi Kepala Lapas Kelas I Pria di Tangerang, Banten adalah saat pintu besi berpalang dan bergembok digedor-gedor kelompok pendukung teroris yang baru dipindahkan ke lapas yang dipimpinnya. Peristiwa pada tahun 2013 itu berawal saat sejumlah napi kasus terorisme dipindahkan dari Salemba ke Tangerang dengan alasan suka membuat keributan. Tiba di Lapas Kelas 1 Pria di Tangerang, teman-teman para teroris dari luar penjara justru mendatangi Lapas Tangerang dan menuntut para napi terorisme itu dibebaskan. Polisi berhasil mengatasi situasi di luar lapas malam itu. Namun sehari-hari, Agus Toyib kewalahan mengatur 16 anak buahnya untuk mengurus 29 napi terorisme yang akan hidup bersama dengan 1000 napi lainnya. Itu dulu. Kini Agus Toyib sudah tidak di Tangerang.

Pengalaman Agus Toyib boleh jadi dialami oleh banyak kalapas di Indonesia yang mendapat tugas membina narapidana. Di tengah orang-orang radikal, para sipir yang seharusnya mengamankan para narapidana dan lapas justru mendapat tekanan dan ancaman. Alih-alih menjadi "tidak radikal lagi", jangan-jangan terbalik, malahan para napi non teroris dan sipir menjadi ikut-ikutan radikal. Jika merujuk pada informasi jumlah sipir yang mengurusi para napi, tentu tidak masuk akal jika segelintir sipir inilah yang mesti mengemban tugas melakukan deradikalisasi. Namun, mau tidak mau, para sipir inilah yang akan hidup bersama-sama dengan para napi terorisme.

Keterangan Foto: Deradikalisasi Oleh Tim Prof. Sarlito Wirawan Sarwono

Truly Hitosoro, S.Sos, M.Si, LLM, M2, seorang peneliti independen yang akan menerbitkan buku "The Hidden Battle Ground" yang berisi hasil penelitian mengenai radikalisasi dalam lembaga pemasyarakatan di Indonesia menyebutkan, petugas lapas kurang memahami konsep deradikalisasi yang diakibatkan oleh minimnya pelatihan untuk petugas di lapas. Turly Hitosoro, lulusan S1 Kriminologi UI, S2 Kriminologi UI, S2 Hukum Internasional Universitas Kyushu dan S2 Kajian Asteng EHESS menekankan pentingnya peningkatan kualitas petugas lapas karena merekalah yang berhubungan langsung dengan warga binaan.

Dari hasil penelitian Truly Hitosoro ditemukan, belum ada komunikasi yang baik antara petugas, seperti Densus 88 dengan petugas di lapas. Kerap, petugas hanya mengantarkan napiter tanpa ada penjelasan detail, seperti kategori/level dari pelaku teror. Akibatnya, petugas di lapas harus menemukan sendiri. Padahal, poin ini berkaitan erat dengan penempatan kamar maupun blok dan program pembinaan dalam lapas. Hasil lain yang mengemuka adalah program pembinaan dalam lapas yang belum memadai karena dana yang minim serta jumlah SDM yang kurang.

Keterangan Foto: Lapas Pasir Putih, Nusakambangan

Namun, sebelum melatih para sipir mengenai deradikalisasi, menurut Truly Hitosoro, ada baiknya disepakati pemahaman terhadap konsep deradikalisasi itu sendiri. Karena, bagaimana mungkin melakukan deradikalisasi kalau tidak paham? Selain itu, konsensus antar institusi terkait mengenai definisi dan metode penerapan deradikalisasi, supaya penerapannya tidak sporadis. Ada baiknya juga didiskusikan bersama dengan konsep disengagement untuk selanjutnya ditemukan konsensus mengenai solusi yang cocok diterapkan di Indonesia. 

Ketika saya menanyakan tentang perlunya pemisahan sel napiter terorisme dengan non terorisme, Truly Hitosoro menjawab, "Perdebatan mengenai pemisahan antara napiter terorisme dengan non terorisme sampai saat ini masih berlanjut. Bila dipisah, napiter bisa menjadi lebih solid dan minim kesempatan untuk berbaur serta menghadapi perbedaan dalam masyarakat. Sedangkan bila digabung riskan terjadi perekrutan." Namun dari pengalaman sipir di Lapas Tangerang yang saya temui, sipir ini menyebut, "Napi terorisme jika bersama-sama dalam grup maka mereka "berani" dan cenderung menekan napi lain. Waktu itu yang sering ditekan adalah napi keturunan Tionghoa, sedangkan ketika napi terorisme dipisah dalam beberapa blok, mereka cenderung tidak menekan namun tidak berbaur juga."

Lantas, metode apa yang terbaik bagi para mantan pelaku terorisme agar tidak semakin radikal? Menurut Truly Hitosoro, mediasi bisa dijadikan salah satu metode pendekatan. Misalnya mediasi antara pelaku dengan korban, baik korban terkait maupun keluarga korban, masyarakat, dan pemerintah. Kenapa masyarakat juga dikatakan sebagai korban? Kalau kita merunut pada akar kata 'teror' yang berasal dari bahasa latin 'terrere', artinya rasa takut yang dahsyat, maka masyarakat yang menjadi takut akibat peristiwa tersebut, bisa dikatakan sebagai korban.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline