Lihat ke Halaman Asli

Monique Rijkers

TERVERIFIKASI

Meredupnya Lentera Kebebasan Berekspresi

Diperbarui: 26 Oktober 2015   01:47

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Kami bukan generasi mbah. Itu yang harus dipahami. Kami hidup pada zaman dimana tirani telah tumbang dan ketika kami menulis, tentara (mungkin) tidak menculik kami. Kami hidup digerogoti hedonisme dan perilaku konsumtif. Kami hidup dalam buta sejarah."

Itulah deretan kalimat-kalimat awal editorial yang lahir dari kegelisahan Bima Satria Putra, Pemred Lentera. Namun, Lentera itu meredup setelah kebebasan berekspresi dinodai aksi penarikan dan pelarangan menyampaikan informasi. Lentera baru berumur tiga edisi ketika "Salatiga Kota Merah" yang terbit pada Oktober 2015 harus ditarik dari peredaran. "Cover yang dipersoalkan adalah adanya gambar bendera-bendera palu arit," kata Kepala Kepolisian Resor Salatiga AKB Polisi Yudho Hermanto kepada Tempo, Senin, 19 Oktober 2015. Selain itu, judulnya “Salatiga Kota Merah”. Masyarakat Salatiga, klaim Yudho, tidak mau ada judul seperti itu. 

Saya menghubungi seorang Pembantu Rektor yang mengikuti perjalanan kasus ini dan bertanya, "Apa alasan penarikan Lentera?" Saya mendapat jawaban: "Keputusan ini diambil atas kesepakatan bersama dengan pihak Lentera dan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Komunilkasi. Rektor pada malam itu menyatakan xxx cuma satu pihak di antara pihak-pihak yang mungkin tidak suka dengan terbitan Lentera." Pihak kampus mengklaim penarikan itu untuk melindungi awak redaksi Lentera dan seluruh civitas akademika yang mungkin tidak tahu menahu dengan Lentera.

Ketika saya tegaskan apakah keputusan penarikan adalah tindakan preventif? Potongan pesan pada WhatsApp saya tertulis,"Ya, preventif dari kemungkinan akselerasi ke arah negatif atau merugikan kampus karena sudah ada reaksi-reaksi. UKSW saat ini lagi cooling down dan dalam beberapa hari mendatang akan memberikan pernyataan resmi terkait masalah ini," demikian jawaban yang saya terima dan salin seutuhnya. 

Terlepas dari apapun alasan UKSW, sebagai alumni UKSW saya mencoba memahami aspek psikologis UKSW sebagai kampus dengan predikat Kristen, yang terletak di sebuah kota kecil yang dulunya adalah saksi sejarah yang belum terungkap. Saya pikir, UKSW sangat hati-hati demi menjaga keharmonisan dengan masyarakat di luar kampus. Saking hati-hati, namun tergelincir. Dalam kasus Lentera, UKSW kebablasan karena ikut-ikutan menyetujui penarikan Lentera. Idealnya sebagai entitas intelektual, justru UKSW harus melahirkan hasil penelitian-penelitian terkait sejarah daerah dimana UKSW berada, bahkan jika dapat UKSW mendata dan meneliti kasus '65 dari seluruh Indonesia.

Dari UKSW harusnya lahir kajian lintas keilmuan yang membedah peristiwa '65 yang terjadi di Salatiga dengan ketajaman pisau analisa yang dapat menyusun keping-keping kisah saksi sejarah yang masih tersebar dan tersimpan dalam tembok-tembok ingatan individual. Betapa luar biasanya jika UKSW dapat berdiri atas nama kemanusiaan untuk memulai penyingkapan peristiwa '65 dari kacamata akademisi. Bukan sebaliknya, UKSW malah menjadi paranoid dan terburu-buru menyetujui penarikan terhadap sebuah karya jurnalistik yang dikerjakan dengan sangat baik, pemilihan narasumber yang kuat dan memenuhi standar etika jurnalistik.

Saya juga menaruh harapan besar pada UKSW agar berani meneliti dan mempublikasikan penulisan sejarah (Salatiga) terkait peristiwa '65 sehingga dari kampuslah kebenaran itu pelan-pelan terkuak. UKSW hadir untuk membentuk anak didik yang kritis, berani membela keadilan dan kebenaran dan yang terutama agar UKSW menjadi garam dan terang dunia karena untuk itulah ada embel-embel Kristen pada nama UKSW.

Minggu, 25 Oktober siang, Bima Satria Putra muncul dalam diskusi yang diadakan Aliansi Jurnalis Independen Indonesia dan Forum Alumni Aktivis Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI). Ia datang memenuhi undangan penyelenggara diskusi. Patut dicatat di sini, Bima dan awak redaksi Lentera tidak pernah mengontak AJI atau PPMI untuk mengadu kejadian yang menimpa Lentera.

"Seorang dari pers mahasiswa di fakultas lain yang menceritakan ke AJI di Semarang," begitu info yang saya peroleh. Dalam diskusi itu, perwakilan dari Mabes Polri Ahmad Safri mengatakan, "Yang namanya pers harus ada SIUPP. Polisi menjaga keamanan ketertiban di Indonesia karena partai ini masih dilarang di Indonesia." Pernyataan ini sangat keliru karena menurut Asep Komarudin dari LBH Pers, "Di Indonesia tidak ada lagi Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP)."

         

Apa yang menimpa Lentera menurut Komisioner Komnasham Nurkhoiron, juga terjadi di daerah lain. "Di Bali ada diskusi tentang "65 tapi pihak keamanan minta dicabut. Di Solo, dialog batal. Di Bukittinggi, pertemuan korban pelanggaran HAM dilarang dan dibubarkan padahal ada Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). Di Blitar ada 1000 Banser yang turun ke jalan ketika diskusi berlangsung. Ini adalah ancaman atas kemerdekaan menyatakan pendapat.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline