Lihat ke Halaman Asli

Monique Rijkers

TERVERIFIKASI

Film Nada Untuk Asa, Sebuah Kisah Nyata Istri HIV Positif

Diperbarui: 17 Juni 2015   11:42

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

14232002831198304535

Namanya Yurike Ferdinandus. Biasa disapa Yoke. Perempuan keturunan Ambon-Belanda dari ayah dan Bali dari ibu ini, menjadi istri seorang pria berseragam yang memberikan Yoke tiga anak dan… HIV! Sayangnya terlalu terlambat bagi Yoke untuk ngamuk atau sekadar bertanya kepada sang suami. Kematian suaminya yang justru membuat Yoke mengenal virus HIV yang pelan-pelan sudah mengerogoti tubuhnya dan turut mengalir melalui kelenjar susu kala Yoke menyusui bayinya.

Saya berjumpa dengan Yoke pertama kali di sebuah rumah makan di Denpasar medio Agustus tahun 2012. Saat itu saya datang ke Bali sebagai wartawan Metro TV yang akan meliput obat HIV untuk program yang saya gawangi: INSIDE. Setelah memastikan Yoke sebagai narasumber yang tepat, saya bertanya penyebab Yoke terinfeksi HIV. Lantas mengalirlah kisah Yoke yang bisa Anda tonton dalam film layar lebar anyar “Nada Untuk Asa.”

Meski saya sudah mengetahui kisah hidup Yoke, namun penulis cerita dan sutradara Charles Gozali berhasil membuat saya hanyut dalam keharuan. Saya seakan-akan menonton sebuah cerita yang baru saya ketahui. Pilihan diksi demi diksi yang disusun dalam naskah yang memikat membuat saya tercekat. Adegan demi adegan berpadu dengan indah menciptakan drama yang mengusik sanubari. Kisah nyata yang memukau ini berhasil diramu menjadi sebuah hiburan inspiratif dan kontemplatif. Film “Nada Untuk Asa” adalah tentang ketegaran, namun ia mampu menguras air mata. Film ini sarat dengan pesan moral tanpa menggurui dan berkhotbah. Sepanjang film saya sering mengusap mata, mengambil tisu demi tisu dan menyeka hidung yang mendadak berair. Ini film kedua yang membuat saya menangis sepanjang film setelah film “The Passion of The Christ.” Bukan hanya saya yang menangis, sepanjang film Yoke, inspirator karakter Nada larut dalam tangis. Kedua anak Yoke yang duduk di sebelah saya pun beberapa kali tersedu-sedu. Cuma si bungsu yang cekikikan ketika melihat adegan kakak-kakaknya dalam film.

Tentu saja saya tidak ingin membuat Anda kehilangan greget ketika menonton film ini karena bisa menebak jalan ceritanya. Karena itu saya tidak akan membeberkan isi film ini. Sebab Anda sungguh rugi jika tidak menonton film ini. Buat saya, film ini adalah tentang keberanian untuk hidup. Keberanian untuk hidup menjadi perhatian saya karena sesungguhnya angka istri yang terinfeksi HIV dari suami semakin bertambah. Kompas, 16 Januari 2015 mencatat berdasarkan data yang dimiliki Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) tahun 2014, mereka yang tertular HIV yaitu ibu rumah tangga sebanyak 6539 orang. Jumlah ini tiga kali lipat lebih tinggi dibanding penjaja seks yaitu 2052 orang. Jika para istri dan anak dengan ODHA kehilangan semangat hidup maka mereka cenderung stop berobat. Padahal ODHA harus rutin minum obat pada jam yang sama setiap hari seumur hidup mereka. Seperti pengalaman Yoke, ia sempat menolak kenyataan bahwa ia adalah ODHA dan akibatnya ia tidak berobat. Namun berkat dorongan yang diberikan kakak iparnya dan keinginan untuk merawat anak-anaknya akhirnya Yoke mau diterapi. Perhatian dan bantuan dari Kelompok Dukungan Sebaya (KDS) turut memampukan dan menguatkan Yoke untuk bangkit dan berani untuk hidup.

Selain berani untuk hidup, film ini menyadarkan kita tentang makna kata cinta. Mungkin banyak orang dengan mudah mengatakan cinta, namun sedikit sekali yang mampu mengatakan “saya mengampunimu” sebagai pembuktian rasa cinta itu sendiri. Saya sangat menyukai adegan ketika Nada mampu menerima kenyataan bahwa suaminya yang menularkan HIV itu dan Nada akan berobat demi anak-anaknya. Nada digambarkan mengingat kembali janji yang diucapkan ketika menikah dulu. “Saya berjanji akan setia dalam suka dan duka, dalam sehat dan sakit.” Kalimat yang mungkin sudah sering kita dengar dalam film produksi Hollywood dalam adegan pengucapan janji nikah itu, kali ini terdengar bermakna sangat dalam. Film ini membuktikan bahwa benar janji itu dapat direalisasikan dalam kehidupan nyata. Pada kenyataannya suami atau istri bukan saja harus mendampingi pasangannya yang sakit, namun juga ia harus bersedia menerima penyakit yang diberikan oleh pasangan. Apakah itu mungkin? Dalam kasus Yoke, ya. Ia sudah melakukan hal itu. Ia tertular HIV, anaknya tertular HIV namun ia mampu memaafkan suaminya karena ia mengasihi suaminya.Dialog ketika Nada mengaku telah mengampuni suaminya ini, membuat Wisnu, anak Yoke yang duduk di sebelah saya saat pemutaran perdana “Nada Untuk Asa” menangis. Saya cuma bisa mengelus tangannya dan bilang, “Mama kamu hebat banget.”

Yoke memang hebat. Sejak pertama kali bertemu Yoke pada tahun 2012, saya langsung tertarik mengangkat kisah para istri yang tertular HIV dari suami. Selain Yoke, saya mencari tiga narasumber lagi yang tertular HIV dari suami mereka. Saya menemukan semuanya berada di Denpasar, jadi sangat mempermudah liputan saat itu. Tiga narasumber mengetahui tertular HIV setelah suaminya meninggal karena HIV sedangkan seorang narasumber masih sempat merawat suaminya selama sakit sampai meninggal. Kisah keempat istri positif ini saya ramu dalam “INSIDE” episode “Warisan Dari Suamiku” yang ditayangkan 30 Agustus 2012. Sebelum wawancara dengan keempat ibu rumah tangga ini, saya memastikan kesiapan mereka untuk membuka diri karena semuanya belum pernah terbuka di luar komunitas ODHA. Saya memberikan opsi menyamarkan wajah demi kerahasiaan identitas namun hanya seorang saja yang meminta wajahnya disamarkan. Tentu dibutuhkan keberanian besar untuk membuka diri tentang status positif ODHA. Dalam wawancara saya menanyakan mengapa Yoke berani membuka diri. Dari transkrip yang masih tersimpan, Yoke menjawab: Saya memberanikan diri untuk terbuka, karena saya tidak mau ada diskriminasi, saya capek didiskriminasi. Saya juga manusia juga, berhak hidup sama-sama, kami juga berhak bernafas di dunia ini,kami masih bisa bekerja dengan minum obat,kami juga masih bisa hidup layak. Sampai detik ini,saya masih hidup. Bagi orang-orang yang mendiskriminasi temen-teman ODHA, mulailah membuka wawasan, mulailah membuka diri bahwa kami tidak seperti yang mereka bayangkan. Penyakit kami bukan penyakit yang kotor, kami ibu rumah tangga, kami orang baik-baik juga. Kami juga tidak tahu sampai kami bisa terinfeksi seperti ini, kami juga tidak minta seperti ini. Jadi tolong saya berani terbuka seperti ini, karena kalau tidak dari saya sendiri,kalau bukan dari teman-teman ODHA sendiri yang membuka “ya saya positif HIV”, mungkin orang di sekitar sini sekali dua kali, sehari dua hari mungkin mereka akan menjauhi, tapi denganberjalannya waktu saya ingin membuktikan bahwa saya akan tetap bisa hidup.”

[caption id="attachment_395335" align="aligncenter" width="300" caption="Yoke,Inspirator Nada(paling kiri).Foto milik Monique Rijkers"][/caption]

Kini Yoke menjalani keseharian sebagai ODHA positif dengan semangat hidup, menjadi ibu yang kuat bagi anak-anaknya, menginspirasi para perempuan ODHA dan berkarya lewat organisasi Ikatan Perempuan Positif Indonesia di Bali. Kehidupan yang Yoke jalani sekarang ini penuh dengan kasih karunia Tuhan. Semalam ia menutup percakapan WA kami dengan kalimat, “Terima kasih mba. Kasih Yesus tiada henti.” Saya bersyukur kepada Tuhan Yesus yang mempertemukan kami. Saya bersyukur untuk film ini karena dapat mengangkat soal HIV terutama dari sisi ibu rumah tangga. Saya bersyukur untuk Romo Harry yang menyodorkan kisah Yoke kepada sutradara Charles Gozali dan produser “Mata Najwa” Dahlia Citra yang mau menayangkan kisah Yoke untuk programnya sehingga Yoke mendapat publikasi lebih luas. Saya bersyukur atas produksi bersama Sahabat POSITIF Keuskupan Agung Jakarta dan MagMA Entertainment. Kompas dan Gramedia Grup tak salah memilih film ini untuk disponsori. Menurut Ibu Lili Tedja dari bagian Media Keuskupan Agung Jakarta, seluruh hasil penjualan tiket film ini akan dialokasikan untuk pengembangan Ruang Carlo, sebuah unit khusus untuk perawatan HIV di RS Carolus, Jakarta. Jadi, kapan lagi, Anda bisa terhibur, terinspirasi dan beramal dalam satu kesempatan?[]




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline