Dalam mengarungi kehidupan, senantiasa ada alur silih berganti tidak mungkin dalam kebahagiaan dan suka cita terus. Ada saatnya dukacita karena kehilangan seseorang yang dekat dan akrab dengan kita. Demikian juga pengalamanku di England. Saya banyak belajar dari para susterku yang begitu setia dalam menjalani hidup panggilannya sebagai religious..
Sewaktu saya diutus ke England, saya banyak belajar dari hidup sederhana para susterku. Boleh dikata kami punya biara yang megah, bagus karena dibangun di masa lalu, hingga saat itu berumur 108 tahun, negara yang serba ada, para suster mendapat pensiun dari negara, namun gaya hidup para suster tetap sederhana, menghemat, kerja keras, meskipun mereka sudah tua, usianya rata-rata 75 -- 87 tahun.
Mereka rajin mengolah apel supaya bisa dinikmati anak-anak di sekolah dari TK hingga SMP, selalu memakan mus Apel karena buah ini melimpah sepanjang tahun. Kami punya banyak pohon apel dan tidak pernah kehabisan,setiap hari para suster mengupas apel dan mengolahnya.
Mereka rajin membuat pekerjaan tangan, rosario, patung, lilin untuk dijual di bazar sekolah yang diadakan menjelang Natal dan sesudah Paskah dan uangnya dikumpulkan untuk tanah misi. Selama 2 tahun saya sungguh banyak belajar di komunitas di England, meski serba ada dan berkecukupan kami sungguh bergaya hidup sederhana.
Begitu cintanya mereka dengan karya misi di negara lain, sehingga mereka rela bekerja keras, membuat sesuatu agar dapat menambah income. Juga keberadaanku di sini di tanggung penuh oleh mereka.
Bila hari Minggu tiba, kami biasa mengisi hari dengan rekreasi,, keliling taman, berjalan dan berdoa Rosario bersama. Memperbanyak waktu doa. Saya senang menemani para suster bergantian untuk keliling taman, mereka suka bercerita tentang masa lalunya mengapa menjadi biarawati SND serta pengalaman hidup mereka, bagaimana merasakan bahwa Allah sungguh mencintai mereka tanpa syarat. Masa tua yang bahagia.
Suatu saat ada rencana bahwa saya akan ke Hodesdon beberapa hari. Sr Wilfrida yang pendiam namun ramah berkata kepada saya : " Pergi saja Sr Monika, jangan khawatir saya akan menggantikan tugasmu untuk mempersiapkan makanan pagi". Begitulah kerjasama dan kerelaan menolong yang terjadi di biara kami.
Dua minggu kemudian, di suatu pagi musim semi, Sr Wilfrida yang setia bangun pagi dan yang biasa merebus telur. Pagi itu di dapur sepi. Kami yang bermeditasi di kapel dikejutkan oleh pengumuman dari Sr Patricia Gannon, yang mendapati Sr Wilfrida pergi menghadap Bapa untuk selamanya, pergi dalam tidur malamnya.
Beberapa menit kemudian datang beberapa polisi dan tenaga kesehatan yang memeriksa keadaan jenazah Suster Wilfrida dan membawanya ke " chapel of rest ", berada disitu 10 hari, sambil menunggu keluarga yang dari Jerman. Inilah hal yang pertama yang kualami, menyaksikan kematian susterku di England.
Tentu hatiku sedih dan berduka, saya sering menangis, namun selalu ditegur oleh para suster dengan kata :" Sr Wilfrida sudah berbahagia, tidak usah menangis". Acara biarapun berlangsung seperti biasa, bahkan rekreasi malam juga kami bermain halma, Rumy cup dll, tapi bagiku, tak bisa melakukannya, saya masih dirundung duka.