Sempurna Purnama Eka Nawa Warsa (3)
Cerita sebelumnya :
Malam itu segala keindahan jagad raya ini menyatu di depanku. Bayangan kehidupanku sejak aku masih dalam kandungan hingga aku seperti saat ini terlintas seperti film kehidupan yang diputar kembali. Seolah aku akan meninggalkan kehidupan ini dan memasuki kehidupan baru. Di hadapanku terbentang surga dengan segala pesonanya. Aku hanya bisa bersujud sesampai pada inti purnama yang membiaskan sinar lembut memelukku dalam damai. ( Bersambung )
Doaku mengalir dalam batin dan kedalaman nuraniku. "Duh Gusti Sang Murbeng Jagad, hamba berserah kepada Paduka, gunakanlah sekehendak Paduka jiwa dan raga hamba, tuk menjadi saluran rahmat-Mu kepada semua."
Tiba-tiba aku melihat wajah Romo Prabu dan Ibunda Ratu, berdiri di ujung sinar tersenyum menyaksikanku. Ternyata bukan hanya Romo Prabu dan Ibunda Ratu, melainkan semua orang yang pernah kukenal hadir mengelilingiku. Meskipun aku tidak melihatnya satu per satu, aku tahu siapa mereka.
Aneh, memang, aku tahu dan melihat meskipun aku tidak mengumbar penglihatan atau memalingkan kepala. Apa yang kualami malam ini sungguh ajaib di luar batas kekuasaan dan pengertian manusia.
Keajaiban itu membuatku semakin tersadar bahwa manusia bukan apa-apa di hadapan keajaiban semesta, terlebih di depan pandangan Tuhan Sang Murbeng Jagad. Namun manusia sangat dicintainya, karena jiwa yang bersemayam di tubuh wadag manusia adalah gambar atau citra Tuhan sendiri yang hidup dan senantiasa hidup dalam keabadian.
Jiwaku bergetar dalam kekaguman, disegarkan oleh pemandangan yang sangat menakjubkan itu dan seperti terlahir kembali. Pikiranku bukan pikiran manusiawi lagi. Gegayuhan-ku ingin dimurnikan, apa yang kodrati pada diriku tertarik oleh sesuatu yang Ilahi, yang tak akan pudar oleh waktu dan kefanaan.
Purnama penuh di hadapanku menjadi latar belakang cakrawala nan indah. Sementara samudra yang kuinjak menjadi seolah tanah lapang yang empuk. Badanku terasa ringan menari-nari sewaktu berjalan. Tiba-tiba Romo Prabu dan Ibunda Ratu tersenyum memandangku. Walaupun mereka diam, seolah mereka berkata kepadaku bersamaan, "Putriku inilah saat yang kau nantikan. Terimalah anugerah, terimalah titah, dan terimalah perutusanmu dari Allah Sang Sumber berkah."Aku hanya bisa mengangguk, dan menghatur sembah pada kedua orangtuaku yang menyaksikan semua itu.