Perutusan, Misi Jiwa Kelana (5)
Cerita sebelumnya:
Dari pengakuannya mereka menceritakan bahwa telah bertemu seorang perempuan yang menghajar dan melumpuhkan mereka. Berita itu menjadi pembicaraan masyarakat Klopo Duwur, bahwa ada wanita yang melumpuhkan tiga pencuri sekaligus, tetapi mereka tidak kenal siapa wanita itu. Dengan demikian aku bebas bergerak, karena jati diriku tidak dikenali (Bersambung)
Aku merasa kerasan tinggal di sini dan terus berpikir bagaimana memajukan kehidupan masyarakat Klopo Duwur. Keadaan masyarakat di sini seperti Daha di bawah pemerintahan Romo Prabu.
Mereka hidup gotong royong dan sangat toleran satu sama lain, mudah untuk diajari sesuatu yang baru. Mereka memanggil orang lain dengan sebutan lur kependekan sedulur yang berarti saudara. Yang paling kukagumi mereka tidak pernah menutup pintunya,menerima siapa saja yang datang. Rakyatnya hidup saling percaya dan menerima orang asing para pendatang tanpa curiga.
Aku dan Sekar Kinasih tinggal sebulan di desa Klopo Duwur. Banyak hal yang bisa kupelajari, aku banyak belajar bagaimana perjuangan rakyat kecil dalam mengarungi hidup, semangat gotong royong dan guyup rukun, penuh dengan ketulusan, menghargai kepercayaan dan keyakinan sesamanya.
Di antara mereka ada yang beragama Hindu, Budha, dan kepercayaan adanya Sang Sumber Hidup, Sang Murbeng Jagad, atau sering mereka sebut Sang Hyang Widhi.
Aku mendapat tugas dari Maha Mpu Baradha untuk pergi ke padepokan Budi Tunggal yang dipimpin oleh Nyi Ambar Kenanga. Karena boleh pergi sendirian, aku bisa memakai aji bayu mambumbung. Aku pergi ke padepokan itu dengan membawa surat lontar yang ditulis oleh Eyang Mpu Baradha. Dalam waktu satu jam seperti pengalaman dari kerajaan Daha ke Blora aku terbang menembus awan gemawan, sungguh pengalaman yang luar.
Sesampai di tempat, aku duduk samadi untuk siap memasuki tempat asing yang telah ditunjukkan oleh Eyang Mpu Baradha. Setelah berjalan kaki kira-kira 300 langkah dan sampailah aku ke Padepokan Budi Tunggal.
Padepokan ini dikhususkan untuk para wanita. Dengan diantar oleh tiga cantrik, aku dipertemukan dengan Nyi Ambar Kenanga. Dengan santun aku menghatur salam. Namun tiba-tiba saja Nyi Ambar Kenanga memelukku sambil berbisik lirih, mungkin tidak ingin didengar oleh cantriknya.
"Aku senang, Cah Ayu, engkau datang kemari. Aku tahu siapa dirimu,
semoga engkau merasa kerasan di sini."
Hatiku berdebar mendengar pengakuan Nyi Ambar.