Pengalaman Jajah Nagari ( 1 )
Cerita sebelumnya :
Aku hanya dapat mengangguk menyetujui. Apa yang dikatakan Romo Prabu dan Ibunda Ratu. Malam itu menjadi malam yang panjang bagiku karena aku tidak bisa memejamkan mata untuk tidur, hatiku membuncah dan berharap ingin segera pagi. (Bersambung )
Tepat pukul 03.00 saya mandi pagi dan berkemas. Romo dan bundaku sudah menunggu di bangsal keputren di dekat tempat tidurku. Aku pun sungkem kepada mereka dan ibundaku tidak kuasa menahan tangis. Aku pun demikian. Kami saling berpelukan.
Eyang Paman Narotama yang akan mengantarku dan Eyang Bibi Sekar Tanjung juga sudah berada di situ, mereka juga memelukku dan memberikan restunya. Aku diminta untuk bersemadi dan memejamkan mata sambil mengucapkan mantra, "Ibu Pertiwi, Bapa Angkasa, Kakang Kawah, Adi Ari-ari, sumilak suminggih suminggkiro beboyo, semua tertuju pada Sang Hyang Widhi, minta berkat perlindungan."
Beberapa saat kemudian aku merasa seperti terbang, dan setelah membuka mata ternyata aku sudah menaiki burung Jatayu dengan Eyang Paman Narotama ada di belakang. Sungguh luar biasa menembus pagi yang masih gelap gulita. Semilir angin sangat dingin menerpa kami berdua. Anehnya, meskipun terbang sangat kencang, namun Jatayu bergerak lembut tanpa menimbulkan suara.
Menurut Eyang Paman Narotama, Jatayu, kendaraan yang tidak kelihatan ini, merupakan perwujudan Aji Bayu Sumirat yang dimiliki oleh Eyang Paman Narotama dan Romo Prabu.
Sewaktu-waktu Jatayu dapat digunakan sebagai kendaraan apabila mereka hendak melanglang buana menuju suatu tempat dalam waktu singkat. Selain itu masih ada Aji Bayu Sumunggah. Orang yang punya ajian itu bisa tebang seperti elang menuju ke tempat tujuan. Kedua ajian ini dimiliki oleh Romo Prabu, Eyang Paman Narotama, dan Eyang Baradha, yang hendak kutemui hari ini.
Jatayu bergerak melenggak-lenggok. Semburat sinar mentari pagi mulai menerawang kegelapan, pemandangan yang baru kali ini kusaksikan. Aku sudah sering melihat matahari terbit, tapi aku belum pernah menyaksikannya dari langit. Eyang Narotama berbisik, menyuruhku membelai kepala Jatayu. Ketika itu kulakukan, Jatayu memperlambat terbangnya.
Kunikmati pemandangan yang amat menakjubkan itu. Raja terang dengan perlahan namun pasti menyibak kegeleapan pagi dengan keindahan yang tak terlukiskan. Perlahan semburat sinar itu semakin terang, semakin luas dengan aneka warna, seindah warna pelangi. Semakin lama warna itu menjadi putih terang dan pagi menjadi benderang.
Jatayu terbang rendah sehingga aku bisa menyaksikan bentangan laut nan membiru bersih sempurna, gunung yang meranum dengan lebat tetumbuhannya, area persawahan menghijau memukau, hutan yang lebat memikat, dan rumah penduduk. Ini Swarga Loka yang tampak nyata mendunia, sungguh surga bagiku dan aku bersyukur karena bisa menyaksikannya dengan mataku sendiri.