Shalom Diary, ketemu lagi yah.
Hari kemarin tepatnya tanggal 30 Mei, kiranya patut dikenang, karena tepat 1 tahun saya bersama Kompasiana dan mendapat sebutan Kompasianer.
Pandemi ini blessing in the disguise , Betapa tidak ?Ketika Lock Down awal Maret, akhir Februari 2020 saya baru kembali dari kunjungan ke Philippines, ya begitulah keadaanku, datang pergi, datang dan pergi lagi, seprti syair lagunya Titiek Puspa, hingga saya mesti siap 2 koper, 1 terisi lengkap pakaian dan segala kebutuhan, yang satunya siap dibongkar.
Nah, banyak hal yang dulu tidak saya lakukan kini kukerjakan, berkebun, dengan poliback, mengiris sisa sayur dan kulit buah kujadikan pupuk, naik speda statis, jalan-jalan keliling kebun, Olah raga ringan, dan kerja administrasi, sewaktu-waktu juga pergi jika diperlukan dan ada hal penting, itupun dengan menjalankan protocol ketat.
Nah suatu hari saya dapat kiriman artikel dari sobatku, yang menulis di Kompasiana. Saya baca dan mau beri komentar, koq nggk bisa ya? Ternyata yang bisa memberi komentar dan vote adalah sesama K-Ner. Dari situ saya di bujuk untuk jadi anggota Kompasiana, dengan pelbagai alasan. Akhirnya saya mencobanya.
Saya masih ingat artikel yang saya upload adalah puisi berjudul " PIETA", merupakan Puisi permenunganku ketika pertama kalinya saya mengunjungi Basilica St Petrus di Roma Italia. Saya tahu ada patung Pieta, karya besar Seniman akbar jaman renaissance yaitu Michael Angelo. Waktu itu kami diberi waktu 6 jam untuk keliling Basilica, saya duduk termenung di depan Pieta, dan lahirlah Puisi itu di bulan Mei 1990.
Karya seni senantiasa saling menginspirasi. Konon Michael Angelo terinspirasi oleh Puisi " in Paradiso " karya Dante, ketika dia melihat keilahian ketika Beatrix yang menyertai Dante menghilang. Michael Angelo menuangkan rasa Puisi itu dalam karya pahatnya, dia membuat wajah Bunda Maria nampak begitu muda, seolah anak dari Puteranya yang sedang mati dipangkuannya. " The Daughter of The Son" itu terpahat dalam Pieta Michael Angelo.
Mengapa Puisi itu kujadikan upload-an pertama? Karena saya ingin mempersembahkannya kepada Sang Bunda, supaya apa yang kutulis punya roh yang menginspirasi para pembaca. Walaupun Puisi itu tidak mendapat label, saya juga tak tahu apa artinya di label.
Dari hari ke hari, saya belajar meng- uplad foto saja sering keliru, kebesaran sizenya hingga jungkir balik, sering ditegur admid, karena tidak menyematkan keterangan dari mana sumber foto.
Seperti kata sobatku Adik Dhionisius Agus Puguh Sentosa yang mengajakku, di Kompasiana itu mengasyikkan, banyak berjumpa dengan penulis hebat dan baik hati.
Sungguh terbukti, Bp Tjiptadinata & Bunda Roselina yang pernah kuceritakan menyapaku pertama kali, Romo Bobby juga menunjukkan jati dirinya via email. Dan tak terasa saya punya banyak sahabat, meski belum pernah bertemu, rasanya sudah kenal lama dan menjadi seperti saudara. Apalagi setelah saya ikut menulis 150 penulis di buku Kenangan Wedding Anniversary Bp Tjip & bunda Rose, saya makin mengenal banyak penulis.