Menemukan Tuhan dalam segalanya, merupakan Spiritualitas Santo Ignatius yang dihidupi oleh para Imam Jesuit yang membangkitkan kesadaran bagi setiap orang untuk dapat menemukan Tuhan dalam perjalanan hidupnya.
Tidak hanya para Jesuit saja yang diharap menemukan Tuhan dalam segala namun setiap kita, yang lahir dan kembali pada tujuan yang sama yaitu dari dan kembali kepada Allah TRITUNGGAL.
Kapan dalam hidupku saya mengenal Tuhan? Kuterawang dan dalam kesadaranku ketika saya bisa baca tulis serta melihat gambar-gambar Yesus, alam semesta, Allah Trinitas yang kuterima dari Imam dan guru agamaku, serta ditunjukkan oleh orang tuaku, mendengar cerita dari nenek maupun bapakku disitulah saya mengenal Tuhan.
Kesadaran itu berkembang bahwa Tuhan itu Maha Baik yang kehadiran-Nya kurasakan dari cinta kasih orang tua, nenek, saudara, para tetangga dan teman-temanku, para guruku. Para Pastor dan para Suster, paa tetangga yang hidup rukun berdampingan. Saya hidup dan dibesarkan dalam suasana yang heterogin baik suku, agama. Tetanggaku banyak yang Thionghoa, ada juga Arab, ada yang dari Madura.
Kami merayakan Hari Raya Idul Fitri, Natal, Imlek / Tahun baru China, Waisak. Karena kampungku dekat Alun-alun pusat kota. Maka di hari Raya yang biasanya ada pertunjukkan kami biasa melihat Wayang Kulit, Wayang Golek, ketika 1 Suro, Gambus, Kentrung, dan Pasar Malam saat Hari Raya Idul Fitri, Barongsai dan Leang Leong Wayang Potehi, ketika hari Raya, Imlek.
Juga setiap tahun ada doa bersamadi Makam Sunan Pojok 9 yang disebut acara Kol ) saya sendiri tidak tahu apa artinya, namun jika ada acara Kol di makam Sunan Pojok ramai pengunjung untuk berdoa dan tirakatan.
Ayahku senang mengajakku keliling kota Blora naik sepeda,bahkan jika hari libur saya diajak kesekolah juga bersepeda, maklum karena saya sekolah di Sekolah Katholik dan ayahku sebagai Kepala Sekolah dan guru di sekolah negeri, jaraknya 8 km serta melewati perkampungan & persawahan nan hijau.
Ayahku selalu bercerita, menunjukkan nama gedung dan bangunan seperti Gereja, Masjid, Kletheng, kantor Kejaksaan, gedung DPR dll dari situ saya mengenal lingkunganku dan alam semesta, bahkan untuk menghafalkan nama-nama gunung ayahku menyanyikan nama gunung tersebut sehingga saya biasa mengingatnya hingga sekarang.
Pengalaman kecilku menggugah kesadaranku tertarik untuk hidup seperti para Suster. Waktu itu saya kelas 2 SD. Romo Parokiku selalu orang Italy yang mempunyai adat yang baik untuk mengadakan prosesi / perarakan Sakaramen Maha Kudus pada hari Raya Tubuh dan Darah Kristus.
Dari komplek Sekolah Katolik menuju ke Gereja. Saat prosesi dipilihlah anak- anak kecil menjadi malaekat yang didadani oleh para suster yang didatangkan dari Rembang karena di Blora, kotaku belum ada biara Susteran.
Nah saya terkesima dengan kebaikan para suster SND yang ramah, baik hati dan penuh semangat. Kebaikan Tuhan merasuk dan mengaliri hidup mereka dan itu kurasakan. Betapa indahnya hidup dalam kebersamaan dan dipersembahkan kepada Tuhan, meskipun saya minim pengetahuan hingga dewasa dalam benakku semua suster/ biarawati itu sama.