Cerahnya malam dihias bintang dan Purnama penuh membiaskan sinar putih menawan, Kata buyutku : " Tataplah Purnama , jika dia tiba, tataplah dengan seluruh jiwamu dan perasaanmu dengan penuh rasa syukur dan harapan, jika engkau ingin awet muda". Begitulah pesan buyut perempuanku kepada kami cicit-cicitnya.
Buyut tidak hanya berpesan tapi juga menjalankannya. Bila Purnama tiba buyut sambil menggendong cicitnya bersenandung menatap Purnama. Kidung-kidung Jawa yang nglaras rasa ditembangkan dengan merdu, meskipun dia tidak punya gigi lagi tapi suaranya cukup merdu untuk bernyanyi atau sekedar bersenandung. Pantasan buyut awet muda dan sehat dalam usianya yang sudah seratus tahun lebih.
Kalau ditanya kapan dia lahir?, dia tidak ingat tahun berapa. Katanya pokoknya sewaktu ada kereta api dia sudah berumur 6 tahun. Kebiasaan buyut bangun pagi, merenung atau istilah kerennya bermeditasi, difajar hari ketika orang-orang masih terlelap tidur, lalu menyapu halaman dan menjalankan aktivitas lainnya. itulah yang dilakukan buyutku, setiap pagi, menurut pandanganku dia seorang pekerja keras, meskipun sudah sangat tua. dia mampu menumbuk biji kopi, dan membuat tepung beras setiap harinya untuk pelengkap membuat Kripik tempe.
Munculnya Purnama senantiasa mengundang kebahagiaan bagiku dan teman-teman sedesa, semasa kami masih anak- anak. Setelah belajar malam dan mengerjakan tugas sekolah, kami siap untuk bermain petak umpet atau gobak sodhor ( go back to the door) , atau istilahnya sepak Tekhong. Wah ramai sekali bermain bisa 20 -30 anak berkumpul untuk bermain bersama. Dalam permainan terjalin kebersamaan, kerjasama, saling dialoq, mengatur strategi, dan menikmati kegembiraan serta berbagi kebahagiaan bersama teman.
Itulah gambaran duniaku dulu masa kecil, yang sangat manis bila kukenang kembali. Meskipun kami juga sudah mengenal listrik tapi kehadiran bulan apalagi saat Purnama menjadi penantian setiap hati anak-anak, juga orang tua untuk berkumpul dihalaman. Apakah suasana seperti itu masih terjadi saat ini?
Dimana listrik dan kemewahan kota, gemerlapnya mall/ pasar swalayan lebih menarik dibanding menikmati indahnya malam berbulan, yang begitu indah dikelilingi gemerlapnya bintang-bintang?" Mungkin dikota --kota besar tidak terjadi lagi.
Saya pernah bertanya pada beberapa teman dan keluargaku yang tinggal dikota kecil, hal yang demikian masih sering dilakukan, meskipun tidak selalu karena banyaknya pekerjaan mereka sering pulang malam.Waktu untuk bercengkerama bersama keluarga terbatas. Tapi syukurlah masih dilakukan, meskipun tidak sesering masa kanak-kanakku dulu.
Purnama ( bogor.tribunnews.com )
Dengan menikmati malam yang indah, jiwa kita dibawa pada suatu kekaguman yang telah dipateri oleh Sang Pencipta dengan hadirnya Dewi Malam dan gemerlapnya bintang-bintang. Apa yang dinasihatkan buyutku bisa kupahami kini. " Betapa kita akan awet muda, karena suasana hati kita penuh syukur, gembira, tentram dan menyembulkan rasa damai, penuh pengharapan atas kuasa Yang Diatas".Bukankah hati yang gembira adalah obat? Hati yang dekat pada Sang Pencipta adalah hati yang damai, karena Dia membiarkan DiriNya untuk bertahta dihati kita yang merindukan-Nya dengan nyala kasih-Nya nan Agung. Kita bisa berhati bening, berpikiran wening dan berjiwa hening jauh dari rasa was-was atau stress.
" Aku telah menunjukkan wajah-Ku diantara bulan dan bintang ", demikian ungkap Sang Pemazmur. Dalam guratan keindahan semesta, Dia telah menunjukkan Adi karya nan Maha Agung. Hati kita dibawanya pada keluhuran yang telah dimulaiNya sejak dunia dijadikan, baik dan indah adanya.
Malam dan siang begitu indah diberikan Tuhan kepada kita, sayang karena kesibukan dan keacuhan kita mengabaikan karunia yang berharga ini begitu saja.