Lihat ke Halaman Asli

Pasien Ditolak Klinik/Rumah Sakit, Boleh atau Tidak?

Diperbarui: 17 Juni 2015   06:01

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

"Sedih, ditolak 2 klinik ibu ini melahirkan di tangga Tanah Abang (www.merdeka.com-3 Juni 2015)". Kembali membaca berita miris sebuah fasilitas pelayanan kesehatan yang menolak pasien. Cukup banyak berita dimana pasien ditolak oleh klinik, rumah sakit atau ditelantarkan karena tidak mampu menyediakan uang jaminan sebelum perawatan lebih lanjut seperti rawat inap. Akibatnya sudah dipastikan pasien akan mencari alternatif lain yang murah dan bahkan menjadi lebih parah atau meninggal sebelum melanjutkan perawatan di tempat lain.

Dalam UU No.44 Tahun 2009 disebutkan, rumah sakit diselenggarakan berasaskan Pancasila dan didasarkan pada nilai kemanusiaan, etika dan profesionalitas, manfaat, keadilan, perasamaan hak dan antidiskriminasi, pemerataan, perlindungan dan keselamatan pasien serta mempunyai fungsi sosial (pasal 2).

Namun akhir-akhir ini, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi kedokteran mengantarkan rumah sakit sebagai lembaga kemanusiaan, keagamaan, sosial menjadi sebuah lembaga yang mengarah dan berorientasi pada kepentingan pemodal "bisnis" ini ditandai dengan setelah para pemodal diperbolehkan untuk mendirikan rumah sakit berbadan hukum yang sudah pasti mempunyai tujuan mencari keuntungan "profit".

Pada beberapa instansi pelaynan kesehatan, dalam pelaksanaannya, pelayanan kesehatan diatur dalam prosedur tertentu, dimana pelayanan kesehatan dapat diberikan bila telah melakukan pembayaran. Mekanisme ini diberlakukan untuk membiayayi pelayanan yang akan diberikan. Namun tentu saja hal ini bukanlah hal mutlak yang harus dilaksanakan sesuai urutannya. Hal ini berlaku pada saat emergency, dimana yang perlu diperhatikan adalah penyelamatan jiwa pasien, tidak mendahulukan pembayaran. Ini sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang menyatakan bahwa dalam keadaan yang mengancam jiwa maka hal yang diutamakan adalah mencegah terjadinya kecacatan dan hal-hal yang mengancam jiwa. Dan juga diatur bahwa fungsi rumah sakit adalah mendahulukan pelaksanaan fungsi sosial antara lain dengan memberikan fasilitas pelayanan pasien tidak mampu/miskin, pelayanan gawat darurat tanpa uang muka, ambulan gratis, pelayanan korban bencana dan kejadian luar biasa atau bakti sosial bagi kemanusiaan.

Keadaan yang mengancam jiwa atau kondisi pasien dengan pengertian gawat darurat menurut UU RI No 44 Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit adalah kondisi klinis pasien yang membutuhkan tindakan medis segera guna penyelamatan nyawa dan pencegahan kecacatan lebih lanjut. Gawat darurat medik merupakan suatu ondisi yang dalam pandangan penderita, keluarga atau siapapun yang bertanggungjawab dalam membawa penderita ke rumah sakit, memerlukan pelayanan medik segera. Kondisi ini berlanjut hingga petugas kesehatan menetapkan bahwa keselamatan penderita atau kesehatannya terancam atau tidak terancam.

Tentu sangat miris rasanya, jika peristiwa seperti ini terjadi secara berulang. Padahal Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan telah mewajibkan bagi fasilitas layanan kesehatan agar mendahulukan upaya penyelamatan pasiennya. Pada pasal 32 ayat (1) disebutkan bahwa dalam keadaan darurat, fasilitas pelayanan kesehatan, baik pemerintah maupun swasta wajib memberikan pelayanan kesehatan bagi penyelamatan nyawa pasien dan pencegahan kecacatan terlebih dahulu. Bahkan ditegaskan pada ayat (2), dalam keadaan darurat, fasilitas pelayanan kesehatan bak pemerintah maupun swasta dilarang menolak pasien dan / atau meminta uang muka.

Dalam Undang-Undang Rumah Sakit No 44 Tahun 2009 sebagai regulasi tertinggi khusus rumah sakit, pada pasal 29 ayat (1) huruf c menyatakan setiap rumah sakit mempunyai kewajiban memberikan pelayanan gawat darurat kepada pasien sesuai dengan kemampuan pelayanannya. Pada pasal yang sama huruf f ditegaskan bahwa kewajiban rumah sakit juga melaksanakan fungsi sosial antara lain dengan memberikan fasilitas pelayanan pasien tidak mampu/miskin dan pelayanan gawat darurat tanpauang muka.

Dikatakan, kasus ini sebagian dampak dari rumah sakit berbentuk Perseroan Terbatas (PT), karena cenderung hanya lebih mementingkan fungsi usaha da keuntungan, padahal ada Peraturan Menteri Kessehatan No.378/Menkes/Per/V/1993 tentang Pelaksanaan Fungsi Sosial Rumah Sakit Swasta, selain mencari keuntungan sebagai perusahaan, rumah sakit juga menjalankan fungsi sosial.

Dalam peraturan Menteri Kesehatan tersebut, rumah sakit wajib menjalankan fungsi sosial seperti pengaturan tarif pelayanan dengan memberikan keringanan atau pembebasan pelayanan kesehatan bagi masyarakat yang kurang mampu dan pelayanan gawat darurat 24 jam tanpa mempersyaratkan uang muka, tetapi mengutamakan kesehatan.

Inilah yang menjadi persoalan bahwa hampir disseluruh instansi rumah sakit menerapkan hubungan " industrial" antara pasien dan rumah sakit. Pasien sebagai konsumen yang hendak membeli jasa pelayanan dan rumah sakit adalah produsen penyedia pelayanan sosial kemanusiaan. Segala sesuatu kembali diukur menggunakan uang. Ketidakmampuan masyarakat dalam memenuhi kebutuhan perawatan maupun pengobatan tertutup dengan mahalnya biaya pengobatan di rumah sakit.

Selain itu dari segi bioetika dinyatakan dalam adanya prinsip justice, bahwa setiap orang berhak mendapatkan pelayanan kesehatan yang adil tanpa membedakan status sosial. Pasien juga berhak mendapatkan pelayanan yang sebaik-baiknya dan tidak dirugikan atas tindakan kesehatan tersebut. Tampak ketidakadilan terhadap pasien karena pasien ditolak rumah sakit karena tidak dapat membayar uang muka dan tentu saja ini bertentangan dengan etika yang berlaku.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline