Lihat ke Halaman Asli

Senja di Stasiun

Diperbarui: 24 Juni 2015   02:33

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hari ini, ketika senja mulai merayu. Pada stasiun kereta api yang warnanya cukup selaras dengan senja, aku bertemu dengan seorang anak laki-laki.. usianya mungkin sama dengan adik laki-laki ku 11 tahun. Berpakaiian rapi, celana rapi, rambut tertata rapi, dan yang paling aku suka adalah tutur kata yang teramat rapi. Dia menghampiriku dan menawarkan sesuatu yang tertutup di dalam kantong plastik putihnya. Awanya ku berfikir anak ini tak lebih dari seorang anak jalanan yang dengan seribu akal bulusnya mencoba untuk meminta-minta dan dikasihani. Namun aku minta maaf, tuduhan yang aku jatuhkan salah besar. Ia menawarkan sebuah bros untuk aku beli, tutur kata yang sangat baik dan sopan membuat ku tertarik. Sangat jarang aku temui di kota jakarta yang semakin bobrok ini, masih ada anak yang dapat bertutur sebaik itu. Aku contohnya apa yang ia ucapkan padaku,

“MAAF KAK,KALAU AKU MENGGANGU. KALAU KAKAK MAU, AKU INGIN MENAWARKAN BROS YANG AKU BAWA. HARGANYA BERBEDA BEDA, MUNGKIN KAKAK BISA LIAT DULU”

Namun, bukan maksud hati untuk tidak menolong anak laki-laki dengan retorika baik itu, tetapi aku tidak membawa uang lebih. Hanya tersisa empat ribu rupiah dikantongku. Anak laki-laki itu hanya menjawab.

“OH,IYA KAK TIDAK APA-APA”

Ku pikir anak laki-laki hanya memainkan logat bahasanya secara baik. Aku mulai memancingnya untuk berbincang, ternyata memang tutur kata yang bagus untuk anak seusianya. Caranya bercerita cukup menarik dan enak didengar, akupun menjadi malu untuk berbahasa secara slang. Dalam ceritanya ia anak tunggal yang telah yatim piatu, kini ini tinggal bersama neneknya yang tengah sakit. Rumah anak itu di derah pulo gadung, sedangkan lokasi stasiun ku di daerah tanjung barat. Jarak yang cukup jauh. Namun ada rasa percaya dan tidak yang mengganjal di hati, entah kepercayaan itu mengapa belum mampu muncul. Namun mata anak itu yang perlahan memunculkannya. Maaf dik, jakarta yang menciptakan pikiran naif itu untuk ku, puluhan oknum dengan seribu akal bulus yang membuat orang-orang dan aku enggan untuk mempercayai rayuan dan belas kasihan yang sering dilontarkan. Tapi semoga mata, hati, dan tutur kata mu mampu membawamu pada masa depan yang kelak akan kau genggam. Lebih tinggi dari apa yang kau bayangkan.

Bogor, 3 januari 2013

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline